Suku Tobati, yang juga dikenal sebagai Tobati-Enggros atau Youtefa Tobati, merupakan kelompok etnis yang bermukim di pesisir Teluk Youtefa, Kota Jayapura, Papua. Mereka mendiami kawasan seluas 1.675 hektare, dengan permukiman yang khas rumah-rumah tradisional yang dibangun di atas permukaan laut, dekat dengan daratan. Meski sederhana, tradisi dan budaya mereka telah bertahan melintasi waktu.
Warisan Nama dan Etimologi
Nama Tobati berasal dari kata Tabi, yang bermakna βmatahari terbit.β Legenda menyebutkan bahwa kampung ini didirikan oleh βsaudara matahari,β sehingga dinamai Tabati, yang kemudian menjadi Tobati. Menurut kisah lain, nama ini bermula dari gabungan kata toa (perintah Sultan) dan bati (batas), merujuk pada batas kekuasaan Sultan Tidore di Pulau Tobati.
Sejarah dan Kehidupan Awal
Sebagai penghuni asli Kota Jayapura, suku Tobati telah lama mendiami kawasan ini. Selain suku Tobati, daerah Jayapura juga menjadi rumah bagi suku-suku asli lainnya, seperti Enggros, Kayu Pulau, Nafri, Sentani, dan Skouw. Kampung Tobati dan Enggros sendiri terletak di Teluk Youtefa, sekitar 20 menit dari pusat kota. Permukiman ini menjadi saksi sejarah panjang yang melibatkan hubungan dengan Kesultanan Tidore hingga penyebaran agama oleh para misionaris Belanda.
Sistem Kepemimpinan dan Tradisi Pernikahan
Kehidupan suku Tobati diatur oleh sistem tradisional yang dipimpin oleh ondoafi, kepala kampung yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu keluarga yang memegang jabatan ondoafi adalah keluarga Hamadi, yang membawahi sejumlah marga, seperti Itaar, Afaar, Hanasbey, dan lainnya.
Pernikahan di suku Tobati melibatkan tujuh tahapan adat, mulai dari proses meminang hingga penandatanganan berita acara penerimaan maskawin. Setiap tahap mencerminkan nilai kekeluargaan yang kuat, diakhiri dengan jamuan kasih sebagai wujud kebersamaan.
Keunikan Arsitektur Tradisional
Rumah Sway menjadi tempat hunian sehari-hari masyarakat Tobati. Rumah ini memiliki desain sederhana namun fungsional, dengan ruang tamu, kamar tidur, ruang dapur, dan teras belakang. Tata letaknya mengikuti jalur jalan utama perkampungan, menciptakan suasana saling berhadapan antar rumah.
Di sisi lain, Kariwari, rumah adat yang tinggi menjulang hingga 30 meter, menjadi simbol spiritual dan pendidikan. Bangunan ini memiliki tiga lantai, masing-masing memiliki fungsi: lantai satu untuk mendidik anak laki-laki, lantai dua untuk pertemuan, dan lantai tiga sebagai tempat doa. Atapnya yang mengerucut melambangkan penghormatan kepada leluhur, sementara bentuk segi delapan dirancang untuk menghadapi angin kencang.
Budaya Maritim dan Keramba Ikan
Sebagai masyarakat pesisir, suku Tobati menggantungkan hidup pada laut. Mereka memanfaatkan keramba kandang ikan terapung dari bambu untuk menangkap dan membudidayakan ikan seperti bobara dan samandar. Keramba ini juga digunakan untuk memancing ikan-ikan besar dengan cara unik, yaitu memanfaatkan ikan kecil sebagai umpan.
Transportasi utama mereka adalah perahu tradisional yang disebut wah. Dahulu didayung, kini wah dilengkapi mesin, mempercepat perjalanan yang sebelumnya memakan waktu hingga 30 menit menjadi hanya 4 menit.
Peralihan Kepercayaan dan Agama
Sebelum mengenal agama Islam dan Kristen, suku Tobati menganut animisme, percaya pada kekuatan leluhur. Simbol-simbol kepercayaan ini terlihat pada bentuk rumah Kariwari yang mengerucut, sebagai wujud penghormatan kepada leluhur.
Namun, dengan masuknya Islam melalui hubungan dengan Kesultanan Tidore dan penyebaran Injil oleh misionaris Belanda pada awal 1900-an, agama Kristen kini menjadi kepercayaan mayoritas. Kehadiran kedua agama ini meninggalkan jejak sejarah berupa masjid tua dan gereja yang masih berdiri hingga kini.
Suku Tobati adalah cerminan bagaimana tradisi, budaya, dan sejarah bersatu dalam kehidupan sehari-hari. Meski zaman terus berubah, mereka tetap menjaga identitas sebagai masyarakat yang selaras dengan alam dan kaya akan warisan budaya.**
Sumb: Fakta Sejarah Nusantara (fb)
Opini Anda