Seri Cerita Rakyat Pamulang
“Raden Arya Kemuning”
Oleh: Agam Pamungkas Lubah
Zuhur baru saja usai. Matahari di langit masih enggan membuka wajah. Sedari pagi mendung menutupi langit Pemulang. Sepertinya hari akan segera turun hujan. Burung-burung yang biasanya ramai meningkahi ranting pohon Malakama tiada lagi terdengar. Hanya desiran daun dan suara gesekan batang bambu yang terdengar berderik di antara sepinya hari.
Tapi kemudian alam yang tenang itu tiba-tiba terpecahkan dengan suara jeritan wanita meminta pertolongan. Dari arah kali Darmaga terlihat seorang lelaki kasar tengah menarik-narik paksa lengan seorang gadis yang sedang mencuci pakaian di kali. Gadis itu terlihat berontak melakukan perlawanan.
Adalah Dul Kobar, mandor kebun Babah Hok pemilik tanah partikelir di distrik Parung. Dirinya sering diberi tugas oleh Babah Hok untuk memberikan pinjaman uang kepada warga yang kesulitan dalam hidupnya dengan bunga yang cukup tinggi. Dan warga yang tidak sanggup mengembalikan hutangnya tak segan-segan mendapat perlakuan kasar darinya. Tak jarang warga yang tak mampu mengembalikan uang pinjamannya ditukarkan dengan anak gadisnya meski mendapat perlawanan yang keras dari orang tuanya. Dan jika ada yang melawannya dipastikan orang tersebut akan bernasib naas.
Dul Kobar juga terkenal sadis dan tidak memiliki rasa belas kesihan kepada sesama. Sering berlaku semena-mena kepada rakyat jelata. Perawakanya yang keras serta dikenal memiliki ajian sakti ‘lampah lumpuh’ ini membuat ia sangat ditakuti banyak orang. Dirinya dan komplotannya juga sering merampok para pedagang-pedagang yang akan melakukan perjalanan ke daerah gunung Salak. Sehingga banyak para pedagang yang tak berani melakukan perjalan sendiri karena takut Dul Kobar dan kawan-kawannya akan menjarah hasil daganganya di perjalanan.
Dan pada siang hari ini terlihat dirinya sedang berurusan dengan seorang gadis remaja yang cantik. Aisyah namanya. Anak H Sami’in, salah satu guru ngaji di surau Rawa Bebek yang terkenal akan kealimannya.
Tangan Dul Kobar yang kekar itu terlihat dengan kasar mengangkat tubuh mungil Aisyah ke punggungnya.
Aisyah terus berontak meminta pertolongan:
“Toloong…toloong..lepaskan…lepaskan…” Aisyah terus berontak.
Namun sesuatu yang tak terduga oleh Dul Kobar kemudian terjadi. Tiba-tiba dari balik lebatnya pohon kirai sesosok bayangan terlihat terbang ke arahnya..dan secepat kilat tubuh Aisyah sudah terlepas dari punggung Dul Kobar. Sekarang di depannya berdiri seorang lelaki tampan bak pendekar dengan menggunakan ikat kepala berbentuk igel dan berkalung tasbih. Dengan lembut Aisyah ditariknya ke arah belakangnya.
Sementara itu Dul Kobar terlihat mendengus menahan amarah..
“Kurang ajar! Siapa lo bajingan! Jangan sok jadi pahlawan ya. Lo kaga tau lo sedang berurusan dengan siapa?”ucapnya dengan penuh amarah.
“Maaf bang, saya musafir. Dan saya belum kenal abang. Bahkan wanita ini pun saya belum tau siapa dirinya.” Jawab lelaki tampan itu dengan tenang.
“Lantas apa maksud lo menghalangi gua. Sodara bukan, apa bukan.” tanya Dul Kobar sembari mengeluarkan golok dari sarungnya. Sepertinya akan terjadi perkelahian sengit siang ini.
“Maaf bang, saya cuma merasa tak pantas perlakuan abang dengan wanita ini. Apa abang tak tega melihat wanita ini berteriak-teriak meminta pertolongan? Emang apa sesungguhnya yang terjadi dengan dirinya sehingga abang begitu kasar terhadapnya.” ucap lelaki tampan itu masih dengan tutur yang lembut.
“Bukan urusan lo syetan!” bentak Dul Kobar.
Sejurus dengan itu tiba-tiba Dul Kobar langsung meloncat ke arah pemuda itu sambil menebaskan golok secara membabi-buta. Dengan cekatan dan gesitnya pemuda itu berkelit menghindar serangan demi serangan yang dilancarkan oleh Dul Kobar. Perkelahian sengitpun terjadi. Masing-masing mengeluarkan keahliannya. Sampai tak terasa waktu telah memasuki waktu Ashar. Bersamaan dengan suara azan dari surau kampung Rawa Bebek, satu tendangan keras dilancarkan pemuda tersebut ke arah rusuk sebelah kanan Dul Kobar, yang ternyata bagian dari sisi kelemahan dirinya. Tak ayal lagi tubuh Dul Kobar langsung tersungkur roboh ke pinggiran kali. Golok yang berada di tangannya berhasil direbut pemuda tersebut. Semua ilmu kanuraga yang dimilikinya termasuk ajian lampah lumpuh yang menjadi kebanggaannya, lebur di tangan lelaki berkalung tasbih itu. Bersamaan dengan itu pemuda itu langsung meloncat ke arahnya sambil mengayunkan golok ke arah wajahnya. Namun tiba-tiba terdengar suara keras Aisyah dari atas kali:
“Jangan bang! Jangan dibunuh bang Kobar. Kesihan dia masih punya keluarga di rumah.”
Suara merajuk Aisyah meluluhkan hati pemuda tersebut. Lalu dengan tenang pemuda itu mengulurkan tangannya kepada Dul Kobar yang terlihat pasrah dengan takdirnya.
“Bangun bang. Kita akhiri perkelahian ini dengan saling memaafkan. Anggap saja kita sedang khilaf. Dan saya berharap, abang bisa merubah sifat abang dan bekerja yang halal demi anak dan isteri” tawar pemuda itu dengan tulus.
Mendengar tawaran yang tulus dari pemuda tersebut akhirnya Dul Kobar memohon maaf pada pemuda itu sambil berjanji tidak akan melakukan hal-hal yang akan merugikan orang bayak lagi.
Dan setelah bersalaman dengannya Dul Kobar pun pergi meninggalkan pemuda itu dan Aisyah yang masih terlihat ketakutan. Sementara langit di atas Pemulang semakin gelap. Pelan-pelan butiran air kecil-kecil mulai jatuh ke bumi.
Pemuda tersebut langsung menghampiri Aisyah yang sedang buru-buru merapihkan cuciannya ke dalam bakul sembari berucap:
“Maaf Neng, sudah membuatmu ketakutan.”
“Ah justru saya yang harus berterima kasih ke abang. Coba kalau kaga ada abang tadi. Kaga tau dah gimana nasib saya.” ucap Aisyah dengan malu-malu.
“Oya kalau boleh tau abang ini siapa ya. Terus dari mana mo kemana,” lanjut Aisyah kemudian.
“Nama saya Arya dari Cirebon. Maksud saya ke sini ingin bertemu dengan pembesar kampung Pemulang untuk sesuatu tujuan yang mulia.” jawab pemuda itu dengan wajah yang serius.
Setelah melalui pertimbangan yang panjang akhirnya Aisyah pun mengajak pemuda tersebut menghadap ayahnya yang tak lain adalah H Sami’in.
Sesampainya di rumah, Aisyah menceritakan semua kejadian barusan yang dialaminya kepada ayahnya. Bukan main rasa bersyukur dan berterima kasihnya H Sami’in kepada pemuda itu.
“Terimakasih Nak, kamu sudah menyelamatkan putri saya dari gangguan Dul Kobar. Kalau perlu saya tau, siapa nama ananda dan apa maksud kedatangan ananda di kampung kami ini.” tanya H Sami’in dengan mata menyelidik.
“Nama saya Arya. Arya Fadhillah, lengkapnya. Saya dari Cirebon membawah amanat dari orang tua saya, tuan,” jawab pemuda itu dengan sopan.
“Jangan panggil saya, tuan. Panggil saja baba aji Mi’in. Orang-orang memanggil saya begitu di kampung ini.”
“Baik ba aji.” jawab pemuda itu.
“Oya, apa amanat orang tuamu…?” tanya H Sami’in kemudian.
Pemuda itu mohon pamit sebentar menuju ke kudanya yang diikat dibatang pohon Malakama yang menjurut ke kali. Diambilnya buntalan kain yang terbungkus rapi di punggung kuda kesayangannya itu, lalu kembali ke H Sami’in yang berada di bale depan langkan rumahnya. Sementara Aisyah dan Emak Aji membuat penganan ringan di dapur untuk menyuguh tamu dari jauh tersebut.
Setibanya depan H Sami’in pemuda itu membuka buntalan tersebut yang ternyata isinya adalah kitab suci Al Qur’an dan doa-doa pilihan serta kitab kanuraga. H Sami’in tercengang beberapa saat sambil mencoba mengingat-ingat. Beberapa kali ia menatap wajah pemuda itu dengan cermat lalu kembali membuka lembar demi lembar Al Qur’an dan buku di depannya, setelah itu kemudian;
“Nanti dulu, Nak. Perasaan saya pernah mendengar cerita dari Kai Tua bahwa suatu saat nanti kampung kita ini akan kedatangan seorang guru ngaji dan ahli bela diri dari Cirebon. Beliau adalah salah seorang putra dari Adipati Cirebon yang merupakan sahabat dekat Kai Tua dahulu. Ah, tapi untuk lebih jelasnya ada baiknya kita silaturahmi ke rumah Kai Tua saja sekarang, Nak. Mumpung hari belum gelap.” ajak H Sami’in kepada pemuda tersebut sambil merapikan semua bawaan pemuda tersebut.
Sesampainya mereka di tujuan, terlihat seorang lelaki tua tengah duduk di atas bale rumahnya yang terlihat asri dengan sentuhan ornamen berbentuk rumah kebaya. Di tangannya memegang tasbih sambil berzikir. Lelaki tua yang disebut H Sami’in dengan Kai Tua tersebut tak lain adalah Ki Rebo yang merupakan kakek dari H Sami’in itu sendiri.
Setelah mengucapkan salam, H Sami’iin dan pemuda itu langsung mencium tangan Ki Rebo lalu menceritakan semua maksud kedatangan mereka ke Ki Rebo. Seperti sudah mengetahui maksud mereka Ki Rebo langsung membuka percakapan:
“Bagaimana kabar ayahmu Pangeran Lor, Nak. Apakah kau membawa amanat yang perna dijanjikan ayahmu dahulu kepadaku?”
Masih dalam keadaan bingung dan tak yakin pemuda itu menjawab pertanyaan Ki Rebo.
“Alhamdulillah ayahanda dalam keadaan sehat, meski terkadang sakit-sakitan karena usianya. Oya, saya membawa Al Qur’an dan beberapa kitab lainnya,Ki. Apakah itu yang menjadi amanat ayahanda saya kepada Aki?” tanya pemuda itu dengan gugup.
Ki Rebo menatap wajah pemuda tersebut dengan senyuman yang ramah. Lalu merangkul pundaknya sambil mengelus-elus kepalanya laiknya anak kandung sendiri lalu berucap:
“Raden Arya Fadhillah. Nama yang bagus. Sesuai nama kakek buyutmu. Ayahmu sudah merencanakan jauh hari sejak beliau masih bujangan. Beliau berkata jika ia memiliki anak lelaki nanti dia akan beri nama dengan, Raden Arya Fadhillah. Dan kelak jika umurnya dewasa ia akan mengirimkan kepadaku sebagai seorang mufti yang kuat untuk penyebar agama di wilayah selatan Batavia.”
Setelah mendengar penuturan Ki Rebo Raden Arya pun langsung sungkem di hadapan Ki Rebo seraya memohon restu atas dirinya agar dalam menjalankan amanat ayahnya bisa tercapai dengan baik. Ki Rebo menuntunya berdiri lalu bertanya kembali:
“Apakah selain dari Al Qur’an dan Kitab-kitab itu, ayahmu menitipkan yang lain?”
Raden Arya menggelengkan kepalanya lemah. Tapi kemudian ia berpikir sesaat lalu itu;
“Tidak ada Ki. Tapi sebelum saya melangkahkan kaki dari rumah, ayah sempat mencegahku dan memberikan kantong kecil ini kepadaku,” sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam saku bajunya. “Katanya saya baru boleh membukanya jika saya sudah berada di tempat tujuan menetap saya nanti.” Lalu menyerahkan kantong kecil itu kepada Ki Rebo.
Ki Rebo menerimanya disaksikan oleh H Sami’in yang sedari tadi terpukau melihat kejadian di depan matanya. Dan setelah dibuka ternyata isi kantong tersebut adalah biji buah kemuning yang siap ditanam.
“Ayahmu menepati janjinya. Dan sekarang kau boleh menetap di kampung ini sebagai penyebar agama Islam. Aku memberikan tempat padamu untuk mendirikan padepokan di sebelah selatan Rawa Bebek. Dan biji kemuning ini kau tanam dimana tempat kau mendirikan padepokanmu nanti agar kelak ayahmu dan santri-santrimu mengetahui keberadaan dirimu.”
Seusai berkata demikian Raden Arya Fadhillah dan H Sami’in mohon pamit pulang. Beberapa bulan kemudian padepokan mengaji anak-anak berdiri di wilayah Pemulang meski dalam komunitas yang terbatas. Pelan-pelan santrinya mulai bertambah banyak. Nama Raden Arya pun mulai dikenal orang banyak seiring dengan tumbuhnya pohon kemuning di depan padepokannya. Alhasil Raden Arya pun mendapat gelar baru dari masyarakat dan santri-santrinya dengan sebutan: Raden Arya Kemuning…***
T A M A T
Ilustrasi gambar:pinterest.co
#historiatangsel
#roemahboemipamoelang
#agampamungkaslubah
Opini Anda