Permata di Tengah Pusaran Nikel: Kisah Pulau Sombari dan Bayangan Tambang Morowali
Oleh: Simson Towengke
Dari ketinggian, Morowali, Sulawesi Tengah, sering kali digambarkan sebagai surga investasi, jantung industri nikel Indonesia. Namun, di antara hingar bingar truk-truk pengangkut ore dan cerobong asap pabrik pemurnian, tersembunyi sebuah permata: Pulau Sombari. Gugusan pulau kecil ini, yang sering disebut bagian dari pesona Sombori, menawarkan kontras yang mencolok antara alam yang masih perawan dengan realitas industri yang mengelilinginya.
Pulau Sombari, dengan tebing-tebing karst yang menjulang bak Raja Ampat mini, perairan biru kehijauan yang jernih, dan kehidupan Suku Bajo yang ramah, adalah sebuah oase ketenangan. Di sini, waktu terasa melambat. Para nelayan Bajo masih menggantungkan hidupnya pada laut, air adalah sumber kehidupan, dan senja adalah lukisan yang sempurna tanpa terganggu oleh asap atau debu.
Fakta Kontras: Pulau Sombari dan gugusan Sombori dikenal sebagai Kawasan Konservasi Perairan Daerah Morowali, menawarkan keanekaragaman hayati yang kaya. Keindahannya sering disebut perpaduan Raja Ampat, Wakatobi dan Bunaken.
Keseimbangan Rapuh: Kilau Nikel vs. Biru Laut
Namun, panorama Sombari yang memukau tidaklah terisolasi. Pulau ini berada dalam satu bingkai geografis dengan Kabupaten Morowali, daerah yang kini menjadi episentrum pertambangan dan hilirisasi nikel terbesar di Indonesia. Jarak tak selalu berarti aman.
Di wilayah seperti Bahodopi dan sekitarnya, tambang telah mengubah bentang alam secara drastis. Hutan-hutan yang dulunya lebat kini digantikan oleh lahan terbuka, bukit-bukit gundul, dan lubang-lubang galian nikel yang menganga. Perubahan ini membawa konsekuensi serius yang tak terhindarkan:
Pencemaran Air dan Laut: Aktivitas penambangan, khususnya pemuatan material mentah (ore) dan limbah industri, sering kali menyebabkan material tanah merah terbawa ke sungai dan bermuara di laut, terutama saat musim hujan.
Dampak pada Nelayan Lokal: Perubahan warna air laut menjadi kemerahan, atau tercemar logam berat, berulang kali dilaporkan berdampak pada ekosistem laut. Nelayan, termasuk Suku Bajo yang hidup di sekitar Sembari dan pulau-pulau kecil lainnya, mengeluhkan hasil tangkapan yang menurun, bahkan matinya biota laut seperti ikan dan lobster di keramba.
Tekanan Sosial-Ekonomi: Morowali mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat dan penyerapan tenaga kerja yang masif, khususnya di kawasan industri seperti IMIP (Indonesia Morowali Industrial Park). Namun, hal ini juga menimbulkan gesekan sosial, perubahan budaya, dan munculnya isu lingkungan yang mengancam mata pencaharian tradisional masyarakat pesisir.
Cermin Masa Depan
Pulau Sombari, dengan segala keindahannya, menjadi cermin refleksi atas dilema pembangunan di Morowali. Ia menyajikan pertanyaan krusial: Bisakah ekonomi dari tambang dan kelestarian lingkungan laut hidup berdampingan secara harmonis?
Saat wisatawan menikmati keheningan dan keindahan bawah laut Sombari, mereka tak bisa mengabaikan bayangan di seberang sana. Kerusakan hutan bakau dan terumbu karang di wilayah pesisir yang terdekat dengan aktivitas tambang adalah peringatan nyata.
Masyarakat Suku Bajo di sekitar Sombori adalah penjaga tradisi dan kelestarian yang paling rentan. Bagi mereka, laut adalah rumah dan ladang pangan. Keindahan Sembari bukanlah komoditas pariwisata semata, melainkan ekosistem yang menopang kehidupan mereka.
Pulau Sombari adalah janji bahwa Morowali menyimpan kekayaan alam yang tak ternilai. Namun, ia juga merupakan peringatan keras bahwa jika eksploitasi mineral dilakukan tanpa pertimbangan ekologis yang kuat, “permata” ini terancam pudar. Melestarikan keindahan Sembari berarti berinvestasi pada masa depan ekologis Morowali, yang seharusya berjalan beriringan dengan kilau nikelnya.**

Opini Anda