MENELUSURI JEJAK PENGARUH ISLAM DALAM PERANG PEORE 1905 di Bumi Sintuwu Maroso
Oleh: Agam Pamungkas Lubah
Menulis sejarah, terutama sejarah daerah, bukan sekadar kegiatan intelektual atau akademis, tetapi juga kegiatan yang bermakna politik. Jika hal ini tidak disikapi bijak oleh pembaca, besar kemungkinan hal tersebut akan bermuara pada perang kepentingan hegemoni yg bermuara pada tinggi rendahnya kasta seseorang dalam peta pergaulannya sehari-hari. Hal ini karena sejarah dianggap sebagai dasar kesadaran bangsa yang fungsinya untuk memperkokoh identitas nasional atau kolektif.
Pengenalan sejarah pada generasi muda termasuk tokoh yang terlupakan dalam sejarah lebih penting dari pada kita ribut soal gelar pahlawan atau predikat bangsawan.
Sejarah harus dikembalikan pada masyarakat yang akhirnya memunculkan gairah diskusi dan perdebatan dalam bingkai demokrasi yang produktif sehingga bisa menjawab berbagai persoalan bangsa.
Selama ini kita selalu belajar sejarah yang berasal dari sumber resmi yang akibatnya memunculkan mitos-mitos tertentu. Di sinilah pentingnya sejarah dikembalikan pada masyarakat untuk memunculkan diskusi produktif.
Dan kali ini saya akan mencoba mengakat salah satu sosok seorang Muslim yang ikut andil dalam peristiwa heroik yang terjadi pada “Perang Peore” 1905 yang terlupakan dalam catatan emas sejarah peradaban Islam di Bumi Sintuwu Maroso.
Adalah, Sungo Sidiki. Mungkin sebagian besar masyarakat Poso tidak mengenal dengan sosok Muslim yang satu ini. Bisa jadi karena namanya tidak tercatat dalam literasi perjalan panjang Kruyt dalam misi Zendingnya dan pemetaan wilayah- wilayah pedalaman yang belum tersentuh peradaban masyarakatnya kala itu. Atau terlupakan akibat sedikit kisah yang bercerita tentang peran kaum urban dalam pengaruh tumbuh kembangnya sebuah wilayah.
Tapi jejak sejarah tidak saja hanya bersumber pada catatan kepustakaan semata (dedukatif), perlu dukungan bukti-bukti dari wawacan, tutur tinular, pelaku sejarah, serta ahli waris yang berangkat dari cerita-cerita orang tua dahulu yang disampaikan secara turun-temurun (empiris).
Sungo Sidiki lahir di desa Suawa, Gorontalo pada tahun 1889. Ayahnya adalah seorang mufti agama yang terkenal gencar melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda kala itu. Konstalasi politik yang berkembang di Gorontalo mengharuskan ayah dan keluarganya menjadi orang nomor satu yang paling dicari oleh Pemerintah Belanda. Bahkan tak tanggung-tanggung Pemerintah bersedia menghadiahkan 50 gulden untuk yang berhasil menangkap ayah dan keluarganya hidup atau mati.
Maka pada tahun 1904, Sungo Sidiki berhasil melarikan diri dengan menggunakan perahu kecil menyeberangi Teluk Tomini, dan terdampar di sebuah tanjung yang oleh masyarakat Poso saat itu menyebutnya dengan, Tanjung Hapgoan. (sekarang Moengko Baru).
Setibanya di wilayah yang masih ditumbuhi semak belukar dan pohon kelapa tersebut, dirinya berjalan kaki menuju sebelah timur muara sungai Poso (sekarang Kayamanya). Di sana dirinya bertemu dengan seorang sahabatnya sesama Muslim (Injte Dahlan). Yang sudah terlebih dahulu menginjakkan kakinya di dusun tersebut.
Seperti kita ketahui bersama, Belanda yang sejak abad ke-17 menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik mereka di pulau Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi Tengah karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif.
Namun sejak tahun 1890, ketika sebuah kapal Uap Singapura berbendera Inggrismuncul di Teluk Tomini, tanpa meminta izin di Gorontalo yang merupakan pusat Asisten Residen Belanda kala itu, membuat Belanda merasa tak nyaman. Kapal bernama Glangy ini berlayar menuju ke Poso dan mengirimkan dua orang penyelidik Australia, yang berhasil menembus pedalaman hingga di daerah pertemuan Sungai Poso dengan Tomasa untuk melakukan riset tentang keberadaan emas. Rumor yang beredar saat itu menyebutkan bahwa Inggris telah menjalin hubungan persekutuan dengan kerajaan-kerajaan lokal agar dapat bebas dari kontrol Belanda. Untuk mengantisipasi langkah Inggris, pemerintah kolonial menawarkan kontrak politik dengan empat kepala suku dari Pamona: Garoeda, Oele, Boenga Sawa dan Bengka. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak mengerti apa-apa tentang kontrak ini, tetapi para penafsir membujuk mereka dengan berbagai alasan untuk menyetujui kontrak tersebut.
Bertitik tolak dari pengalaman masa lalu tersebut, Pemerintah Belanda tak ingin legitimasinya terancam. Apalagi perang suku antara Ondae dan Napu baru saja usai yang menelan korban cukup banyak. Ditambah sebagian wilayah-wilayah kerajaan di Sulawesi Tengah telah berada dalam kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Tak terkecuali satu kerajaan yaitu Napu. Di bawah pemerintahan seorang Ratu Polite Abu, Napu dengan tegas menolak segala bentuk kerjasama dengan Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini tentu membuat Belanda risau. Dan untuk melakukan pemetaan wilayah maka diutuslah Kruyt pada tahun 1903 ke Napu sekaligus membawa misi Zending.
Ajakan untuk berdamai pun ditolak mentah-mentah oleh Ratu Polite Abu. Bahkan utusan Pemerintah Belanda berhasil ditebas batang lehernya oleh salah seorang Panglima Perang Kerajaan Napu.
Menyikapi hal tersebut akhirnya Pemerintah Belanda meminta bantuan kepada seorang Kabose Pamona yakni, Nduwa/Talasa untuk dapat mengirimkan bantuan pasukan perangnya menghadapi Napu. Persoalan yang timbul adalah Pamona saat itu sistim pemerintahanya bukanlah kerajaan akan halnya Mori, Tojo, Napu, Una-Una dan Bungku. Sistim Pemerintahannya hanya dikepalai oleh Seorang yang bergelar Kabose, yakni Talasa. Sehingga tidak memiliki pasukan perang yang terlatih. Untuk itu dibutuhkan sukarelawan yang siap ikut bertempur di medan perang dalam misi Militer Pertama Pemerintahan Belanda di Poso kala itu. Apalagi setelah diketahui mitra utama Kerajaan Napu yaitu Kerajaan Sigi telah takluk di bawah Pemerintahan Hindia Belanda. Maka dengan dalil pemulihan keamanan satu-satunya cara adalah perang.
Sayembara pun dibuka. Ada kurang lebih 70 pasukan sukarelawan siap bergabung dalam misi militer tersebut. Dua diantaranya adalah seorang Muslim. Yaitu Intje Dahlan dan Sungo Sidiki.
Akan halnya Sungo Sidiki, pertempuran kali ini adalah salah satu cara untuk menghilangkan jejak kalau dirinya dan keluarganya adalah orang yang termasuk dalam target buruan Pemerintah Belanda. Dengan bergabung dirinya dalam misi Peperangan yang kontroversi baginya ini maka dengan demikian Pemerintah Belanda menaruh hutang budi pada dirinya dan keluarganya.
Pada sekitar bulan April tahun 1905 berangkatlah iring-iringan pasukan perang dibawa Pimpinan Letnan H.J Voskuil melalui jalur pegunungan Pinedapa menuju lembah Pekurehua untuk selanjutnya bergerak ke Lamba yang menjadi pusat kekuasaan.
H.J Voskuil adalah seorang Kontrolir Belanda ke 6 di Poso yang mendapat julukan, “Sang Penakluk Poso” atas keberhasilannya menaklukkan Lamba.
Pertempuran sengit pun tak dapat dihindarkan. Satu demi satu korban berjatuhan dikedua bela pihak. Pasukan Kerajaan Napu dibawah Pimpinan Perang, Umana Hulinga dengan gagah perkasa menerobos ke jantung pertahanan pasukan Belanda. Tak kala hebatnya juga pasukan perang Belanda yang terdiri dari sukarelawan gabungan bertarung dengan gigih. Bunyi pedang dan mesiu saling beradu diantara semangat yang berkobar. Mayat-mayat bergelimpangan dimana-mana.
Pertempuran yang dahsyat tersebut menewaskan Makada Abu dan Ama (Umana Soli), sedangkan Tado Abu (Umana Lolo) ditawan dan diasingkan ke Manado. Umana Hulinga, Panglima Kerajaan Lore yang juga ikut serta dalam perang itu akhirnya menyerah atas perintah Ratu Polite untuk menyerah demi melindungi rakyat yang masih tersisa.
Sementara di kubu pasukan Belanda pun mengalami kerugian yang besar. Dari 70 pasukan yang diberangkatkan ke medan juang hanya tersisa beberapa orang saja yang kembali ke Poso. Dua di antaranya adalah Sungo Sidiki dan Intje Dahlan.
Dan atas jasa-jasanya terhadap Pemerintah Belanda dan Raja Talasa, kedua orang Muslim tersebut dianugrahi Tanda Jasa berupa “Bintang Telunjuk” untuk, Sungo Sidiki. Dan “Bintang Timur” untuk, Intje Dahlan.
Tak sampai disitu saja. Raja Talasa pun memberikan hadiah tanah kepada kedua orang Muslim tersebut di atas tanah miliknya.
Sebelah Barat dihadiahkan untuk Intje Dahlan, Sebelah Utara untuk Sungo Sidiki dan Sebelah Timur milik Raja Talasa. Kedua orang Muslim tersebut pun membuka perkebunan kelapa di atas tanah milik mereka. Sehingga tak heran jika kampung tersebut saat itu di kenal dengan salah satu penyuplai minyak kelapa terbaik kepada pemerintah Hindia Belanda hingga tahun 1950an.
Dan untuk menandai batas kepemilikannya tersebut, Sungo Sidiki memberi nama wilayahnya dengan nama, “Watu Sungo.” Watu adalah Batu/Patok/Pembatas. Sehingga memiliki makna, Batas Wilayahnya.
Namun seiring dengan laju arus kaum urban yang datang dari berbagai pelosok Sulawesi termasuk Bugis, Kaili, Arab, dll. Ditambah pula dengan bergabungnya Kabupaten Poso dalam wilayah Karesidenan Manado, secara pelan-pelan nama Batu Sungo pun tergantikan dengan sebutan, “Kampung Kayamanya.” Kayamanya memiliki makna dengan sebutan Kampung yang kaya akan hasil minyak kelapanya.
Sungo Sidiki pun meninggal di Kayamanya pada usia 67 tahun dan dimakamkan di pemakaman tua yang terletak di ruas jalan P.Nias Kayamanya.
Demikian sekelumit kisah pengaruh Islam dalam Perang Peore di Bumi Sintuwu Maroso pada tahun 1905. Semoga catatan kecil ini bisa menjadi bahan diskusi dikalangan pemerhati sejarah dan Pemerintah Kabupaten Poso guna mendukung khasanah kekayaan literasi daerah dan pemajuan kebudayaan sesuai amanat Undang-Undang No.5 tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan… $#@%
Wallahu a’lam bishawab
Roemah Boemi Pamulang
03 Januari 2021
Referensi:
-Kruyt, Albertus Christiaan (2008).Keluar dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen. Google Buku.ISBN 9796873370. Desember 2016.^
-Hoofdstuk, C. (1906). “Koloniaal Verslag over het jaar”.^ Kruyt, Albertus Christiaan (1912). De Bare’e-sprekende Toradja’s van Midden-Celebes. Google Buku. 3.Landsdrukerij
-Cerita turun-temurun keluarga Sungo Sidiki
Opini Anda