SOSOK – Meski tergolong langkah untuk berkarya, apalagi dengan kondisi pada saat itu, Masyarakat Kabupaten Poso harus bangga, jejak emansipasi wanita di Tana Poso telah di pelopori dari perempuan seperti tulis oleh Dimba Tumimomor ;
Damayanti, begitulah nama yang diberikan oleh DR. N.Adriani. ini. Nama yang diambilkan dari mitologi Hindu dalam cerita Mahabharata. Diceritakan bahwa Damayanti adalah putri Raja Bima dari kerajaan Widharba yang kemudian menjadi isteri Raja Nala dari Nishadha.
Entah, alasan apa, kemudian Adriani menamai “Damayanti” kepada anak kelima dari Ngkai Talasa. Kami sekeluarga, tidak pernah mengetahuinya.
Mungkin belum ada perempuan Poso yang menandingi prestasi wanita yang satu ini dalam soal menjadi anggota DPR- MPR/DPRD. Pengalaman pertama kali menjadi angota DPRD diawali di Ternate pada usia masih belia 20an (pertengahan tahun 1950an).
Kemudian sepanjang tahun 1960-an, tahun 1970 dan tahun 1980 serta tahun 1990an.
Beliau berturut-turut menjadi Anggota DPRD Propinsi Sulawesi Utara Tengah (Sulutteng) di Manado, turut serta membidani terbentuknya Propinsi Sulawesi Tengah dan menjadi Anggota DPRD Propinsi Sulawesi Tengah beberapa periode.
Karir politik beliau diakhiri sebagai Anggota DPR/MPR RI di dekade 1980-an dan Aggota MPR Utusan Daerah paruh waktu 1990-an.
Jadi jika dijumlahkan Ibu Damayanti Talasa dalam hidupnya menjadi wakil rakyat, selama lebih dari 40-an tahun.
Jika beliau masih hidup, dia akan bangga bila mengetahui di tahun 2016, ada seorang perempuan, yaitu Ibu Ellen Inkiriwang-Pelealu, menjadi Perempuan pertama yang menjadi Ketua DPRD di Kabupaten Poso. Salah seorang perempuan diantara mayoritas anggota DPRD yang didominasi para lelaki.
Dan beliau pasti akan sangat bersyukur, gembira bersukacita jika mengetahui di Tahun 2021 ini seorang perempuan cantik, manis, cerdas pandai terpelajar dr. Verna Gladies Merry Inkiriwang menjadi Perempuan Pertama yang menjadi Bupati di Tana Poso.
Sejalan sebagai wakil rakyat di tingkat kabupaten, propinsi dan nasional, Ibu Damayanti masih tetap setia menyempatkan diri sebagai seorang pendidik, Ibu guru.
Setamat dari HiS di Poso (beliau seangkatan dengan Prof. J.A.Katili dan Prof. Go Ban Hong). Kemudian lanjut ke sekolah Hollandsche Indische Kweekschool (HIK) dan Hogere Kweek School (HKS) di Solo tahun 1940 an.
Setamat dari Solo, beliau memulai karirnya menjadi guru Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP) di Maluku Utara, di Kota Ternate.
Seusai dari Ternate, kemudian pindah ke Poso mendirikan SGKP yang kemudian Sekolah Kepandaian Putri Pertama (SKKP), dan terakhir mendirikan sekolah Sekolah Kepandaian Putri Atas (SKKA). Di setiap sekolah tersebut, beliau selalu menjadi Kepala Sekolah yang pertama kalinya. Dulu Kepala Sekolah SKKP dan SKKA disebut Direktris.
Dalam kehidupan keluarga, Ibu Damayanti, lahir di Poso, 29 Desember 1923, sering disapa dengan “Tete (tante) Madusu” karena semasa gadis perawakan badannya agak kurus, atau dikeluarga dipanggil sebagai “Tete Rely – Tantenya Rely” atau kami panggil dengan nama “Tanta Dama”.
Ibu Damayanti, terkenal sebagai seorang pribadi yang keras, jujur, pekerja keras, disiplin, teliti dan konsisten serta bersifat agak tertutup.
Beliau bukan tipe perempuan cerewet yang mudah mengumbar cerita. Bukan perempuan yang gemar “berKarlota”.
Beliau bersifat tertutup, lebih disebabkan, dia tidak mau merepotkan orang lain dan melibatkan diri pada urusan pribadi orang lain.
Beliau bukan tipe perempuan tukang gosip, karena dia tidak mau mencederai orang lain dan keluarga.
Bagi saya kejujuran beliau sejalan dengan kesederhanaannya. Walau punya pengalaman hidup begitu panjang di bidang politik, beliau tidak pernah mengumbar cerita yang muluk-muluk mengenai kemampuannya atau kelebihan teman-temannya.
Walau menguasai secara fasih bahasa Belanda, tapi kata-kata yang disampaikannya tetap sederhana, komunikatif, hampir tidak pernah memakai kata-kata asing, formal, hanya untuk menunjukkan tingkat pendidikan, kecerdasan dan luasnya wawasan pergaulan dan pemikirannya.
Sesekali saya dengar dia pakai bahasa Belanda dengan beberapa teman-temannya, jika ada yang bersifat rahasia atau tidak patut saya dengar. Atau beberapa kali dia menulis surat dalam bahasa Belanda kepada ayah saya, yang (mungkin) berisi mengenai “kelakuan” saya atau hal-hal lain mengenai politik dan keluarga.
Jika beliau ketemu dengan sahabat lamanya Pak Prof. Go Ban Hong, mereka selalu bicara penuh waktu dalam bahasa Belanda, demikian juga ketika menerima Prof. John Katili di rumahnya di jalan Kasintuwu Selatan Poso.
Dari beliau saya peroleh petunjuk hidup, salah satunya kurang lebih bermakna begini “….Kalau mau jadi pemimpin harus tulus, bersih dan jujur serta bisa dipercaya…”
Seorang pemimpin yang tulus, bersih dan jujur akan dipercaya oleh masyarakat, disegani dan memiliki wibawa….”.
Seorang pemimpin yang tidak bersih, tidak dipercaya dan tidak punya wibawa, akan tidak bebas dan sulit mengambil keputusan yang bijak dan tepat, orang pandang enteng……”.
Tanggal 31 Desember 2003, jam 23, 55 Waktu Indonesia Bagian Barat, di Kota Salatiga, Ibu Damayanti, tiba-tiba pamit, tanpa sakit, menghembuskan nafas penghabisannya dipangkuan kami keluarga yang dicintai dan mengasihinya.
Nyaris hanya beberapa menit sebelum perpisahan tahun 2003 dan jelang Tahun Baru 1 Januari 2004.
Beliau dimakamkan di Kompleks Pekuburan “Sido Mulyo” Salatiga, dua hari kemudian. Seorang tokoh sesederhana orangnya, tanpa basa basi.
Di batu nisannya hanya tertulis :
DAMAYANTI SUMBAENTO TALASA,
Lahir di Poso 29-12-1923,
Meninggal di Salatiga, 31-12-2003.
Opini Anda