Melawan Lupa Tragedi Berdarah Kilometer 22 Pandiri 10 Desember 1960
Oleh : Rikson Towengke
Setiap bolak balik Poso-Tentena saat ini bagi generasi yang lahir diatas 1980-an ketika lewat tikungan KM. 22 atas Pandiri pasti biasa-biasa saja, berbeda dengan generasi sebelumnya pasca targedi berdarah 10 Desember 1960. Kilo meter 22 ( KM. 22) adalah saksi bisu meregangnya 11 nyawa tak bedosa Para Pentolan Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) korban keganasan Tentara Yon 501 Brawijaya Malang yang menjaga keamanan setelah Tentara Permesta angkat kaki dari Bumi Sintuwu Maroso oleh desakan GPST dibantu TNI waktu itu.
Jalur KM. 22 merupakan tempat yang angker pasca tragedi berdarah tersebut (dulu ditandai dengan 1 pohon kelapa yang tumbuh kerdil diameter sekitar 15 Cm dengan tinggi 5 meter, ditanam oleh alm. S. Tobogu, namun sudah digusur karena pelebaran jalan), setiap pelintas yang lewat pasti membunyikan klakson terutama dimalam hari, dan bagi kaum keluarga biasanya menyulut rokok kretek dan dilempar ke lokasi tersebut sekadar “ucapan salam atau tanda pamit lewat” bentuk penghormatan. Seperti yang berulang kali diceritakan pada kami oleh nenek buyut kami S. Tantjingara (bahasa pamona Nene Toko) semasa hidup (beliau adalah ibunda dari salah satu korban yang bernama Darius Raupa).
Waktu itu ada seseorang utusan yang memberi kabar ke rumah nenek di Uedingki Kayamanya bahwa tahanan diasrama kodim Bonesompe telah dibawah dengan mobil truk Tentara kearah Tentena, dan setelah itu ada info dari warga Pandiri yang mendegar bunyi rentetan tembakan dan akhirnya diketahui ke 11 orang tahanan tokoh GPST telah dihabisi di tepi jurang KM. 22 dengan kondisi menggenaskan.
Padahal, nenek baru saja akan menyuruh cucunya anak dari Darius Raupa yakni Suparta yang waktu itu sekolah di SMP Kr. Poso untuk menengok papanya seperti beberapa kali dilakukan sebelumnya, dan juga sekadar membawa sedikit bekal dan mendengar keadaan mereka baik-baik seperti janji komandan Tentara yang mengepung rumah di Uedingki dan menahan Darius Raupa dua minggu sebelumnya bahwa mereka akan dijaga baik-baik.
Selanjutnya dalam proses evakuasi ke 11 jenasah itu, kondisi jenazah Darius Raupa tidak mengalami luka-luka bekas aniaya atau tembakan selain kaca mata yang retak dan (maaf) kakatua (alat pencabut paku) yang masih melekat di alat vitalnya. Dari informasi yang didapatkan bahwa ketika semuanya sudah tereksekusi hanya mereka berdua (Darius Raupa dan D. Bisalemba) yang masih bertahan karena kebal senjata api, namun karena melihat kawan-kawan yang lain sudah terbujur kaku maka mereka minta agar dieksekusi dengan cara menjepit alat vital mereka.
Dan selanjutnya dalam proses evakuasi, dari dalam mulut Darius didapat satu butir jimat seperti kelereng warna merah (konon didapatkan dari perantauannya di Kupang NTT ketika oleh pemerintah Pusat dimandatkan membuka sekolah di Pulau Pantar, Alor, NTT). Ke 11 jenazah di bawah dan disemayamkan di Baruga Tagolu.
Raungan isak tangis seluruh keluarga terdengar menyayat hati. Di tengah-tengah jeritan tangis pilu, tampil nenek S. Tantjingara dengan suara lantang berteriak sambil memukul-mukul dada Mayor Manan yang diam membisu, “mana janji kalian untuk menjaga dan mengamankan anak saya (Darius Raupa), mana…mana….siapa yang terbujur kaku itu?. Disisi lain, Ngkai (kakek) Runtu Raupa sang ayah hanya diam dalam kesedihannya di Uedingki tidak tahan untuk melihat anaknya.
Cara beliau memendam kesedihannya dengan hanya berdiam diri dan jarang bicara kecuali penting. Dan kalau ke Tentena lewat di makam Tagolu beliau memalingkan wajah karena tidak tahan mengingat anak semata wayangnya, sampai meninggal dunia 22 Juli 1978 di Kayamanya….Bumi Sintuwu Maroso berduka, ke 11 Putra terbaiknya dalam balutan ‘baju’ GPST dimakamkan di ujung kampung Tagolu.
Makam yang sering terlewatkan , dilupakan bahkan nyaris terhapus dari sejarah berdirinya Propinsi Sulteng dan Kabupaten Poso, makam mereka selalu luput dari perhatian pemerintah Propinsi bahkan Kabupaten Poso, seolah tidak berarti dan sering tak terawat padahal merekalah tumbal dan tonggak sejarah berdirinya Sulawesi-Tengah dan Kabupaten Poso.
Riwayat Hidup :
Nama : Darius Raupa, Sm.Hk.
Tempat/tgl Lahir : Malitu, 17 April 1928
Nama Ayah : Runtu Raupa
Nama Ibu : Singkombi Tantjingara
Pendidikan SD sd SMA di Poso
Perguruan Tinggi di Jakarta (Nama Universitas tidak terdokumentasi)
Pekerjaan (dari surat-surat dan catatan pribadi) :
Pernah staff di kantor Kehakiman Poso
Pernah Staff di Kantor Gereja assisten J. Kruyt di Pamona
Membantu Pemerintah Pusat di Jakarta dan pernah ditugaskan untuk membuka sekolah di Alor NTT (SD Langgadopi)
Wartawan Surat Kabar Pikiran Rakjat Djakarta
Assisten Wedana di Luwuk dibawah Gubernuran Sulawesi.
Peran dalam GPST : Sebagai koordinator wilayah Jawa Timur, salah satu penghubung dengan pemerintah pusat dan tim Pelobi bersama Ketua Umum GPST Asa Bungkundapu menghadap Presiden Sukarno meminta dukungan Pemerintah Pusat untuk mempersenjatai GPST sebagai milisi membantu TNI Menghalau Permesta dari Bumi Sintuwu Maroso. Berhasil dengan dikirimnya beberapa pucuk senjata untuk mendukung GPST.
Anak-anak :
Dari Perkawinan Pertama dengan Istri Yosephina Rantelangi
Suparta Raupa, istri W. Ursepunny (anak : Dave Raupa, Yossi Raupa, Rico Raupa)
Ris Raupa, Suami S. Towengke (anak : David Towengke, Rickson Towengke, Lextina Towengke, Simson Towengke, Habel Towengke, Benides Towengke )
Betty Raupa, suami Ch. Inta (anak : almh. Novy Inta, Febri Ika Inta, Indra Dharma Inta)
Dari Perkawinan Kedua dengan istri Yuliana Sarimata Blegur (Putri Bangsawan Alor- NTT) nama anak : Jefferson Amorius Bunga Pantar Raupa, istri M. Tadjila, anak Nita Herlina Raupa)
Dari Perkawinan ketiga dengan istri Habiba Hanggi (kakak Mantan Bupati Buol Karim Hanggi) nama anak Ir. Joni Raupa, memiliki anak bernama Zoya Novianti Raupa.
Pada sekitar minggu terakhir November 1960, ketika baru beberapa hari mendarat di Pelabuhan Poso dari Luwuk (sebagai Asisten Wedana di Luwuk) untuk mengunjungi orang tua di Uedingki Kayamanya, di pagi hari sekitar jam 9 pagi rumah di telah dikepung Tentara (Yon 501 Brawijaya) lengkap dengan senjata sejenis M-16, salah seorang mengetuk pintu dan menanyakan apakah benar disini rumah dari Darius Raupa. Waktu itu Ibu S. Tantjingara (ibunda Darius Raupa) yang keluar menanyakan maksud dan tujuan mereka, hanya dijawab mereka diperintah untuk membawa Darius Raupa untuk dimintai keterangan yang tidak dijelaskan tentang apa. Firasat ibunda tidak enak lagi karena melihat sepasukan bersenjata lengkap yang datang menjemput. Setelah bersitegang beberapa waktu ibunda merelakan karena dijanjikan tidak akan diapa-apakan.
Padahal itulah perjumpaan terakhir yang kemudian hanya mendapat berita memilukan bahwa Darius Raupa dan Ke 10 teman-temannya yakni : 1. Assa Bungkundapu, 2. Alius Ida, 3. Leo Badjadji, 4. J. Ralampi, 5. J.L. Parawi, 6. S. Bisalemba, 7. Harun Lono, 8. J. Balanda, 9. E. Meringgi dan 10. L. Tumonggi serta 4 orang lainnya yang telah lebih dulu di eksekusi beberapa hari sebelumnya di lokasi yang berbeda, telah menjadi korban kebiadaban Yon 501 Brawijaya yang sebelum berganti tugas dengan Yon 601 Tanjung Pura, mengambil kesempatan untuk meluapkan kemarahan mereka dengan tumbal para tokoh-tokoh GPST yang tidak bersalah, hanya karena gesekan dengan beberapa oknum GPST pada waktu itu.
Padahal serah terima tugas antara Yon 501 Brawijaya dengan Yon 601 Tanjung Pura yang dilangsungkan di Palu pada tanggal 12 Desember 1960, disambut dengan tari-tarian yang diikuti oleh Ris Raupa (anak perempuan kedua) yang waktu itu berusia 11 tahun bersekolah di SDN 1 Palu. Ris Raupa bersama ibunda Habiba Hanggi dan adiknya yang masih bayi, Joni Raupa, tinggal di rumah dinas di Jl. Nusa Indah Palu.
10 Desember 1960, telah berlalu 60 tahun, ragamu telah menyatu dengan bumi yang kalian perjuangkan yakni Sulawesi tengah dan Poso yang terus berbenah, arwahmu telah tenang di haribaan pencipta, biarlah penikmat perjuangan kalian, generasi sekarang tidak melupakan sejarah perjuangan kalian. JASMERAH!! Jangan melupakan sejarah…. (Rikson Towengke)
Opini Anda