𝐏aska konflik komunal yang puncaknya terjadi tahun 2000, Pilkada Poso dengan mekanisme pemilihan langsung oleh masyarakat dimulakan tahun 2005 yang menelorkan Piet Inkiriwang – Abdul Muthalib Rimi sebagai Bupati dan Wakil Bupati Poso periode 2005 – 2010.
Piet yang berlatar belakang pensiunan Polisi dengan pangkat terakhir AKBP dan sempat jadi Wakil Ketua Komisi I DPRD Minahasa Selatan di tahun 2004 – 2005, oleh politisi PDS jaman itu diboyong ke Poso untuk ikut kontestasi Pilkada Poso pada tanggal 30/6/2005. Dalam perjalanan waktu, Piet kembali terpilih sebagai Bupati Poso periode 2010 – 2015 berpasangan dengan Ir. Toto Samsuri. Di periode tersebut, yang duduk sebagai Ketua DPRD Poso adalah yakni Jani W. V. Mamuaya (2009-2014) dan terpilih selanjutnya Ellen Pelealu (2014-2019) yang tidak lain adalah istri Bupati Poso saat itu, Piet Inkiriwang.
Sejarah pemerintahan Kabupaten Poso saat itu berlanjut dengan terpilihnya Darmin Sigilipu, pensiunan TNI dengan pangkat terakhir Kolonel. Dalam catatan wikipedia, Darmin kelahiran Tomohon, Sulawesi Utara pada tanggal 9 Agustus 1964 dan jadi Bupati Poso periode 2016-2021 dan setelahnya Darmin kalah berhadapan Verna Inkiriwang, anak mantan Bupati Poso Piet Inkiriwang, kelahiran Manado, 27/11/1983 (wikipedia), untuk periode 2021-2024.
Dalam rentang sejarah politik lokal pasca konflik Poso di atas, ada semacam gejolak ketidak percayaan masyarakat pada warga lokal untuk tampil di kursi Bupati Poso. Sebab jika menilik sejarah, Piet Inkiriwang memang lahir di Desa Sulewana, namun setelahnya lebih banyak berkarir dan bahkan menetap di Minahasa, Sulawesi Utara. Bahkan dalam catatatan wikipedia, marga Inkiriwang memang adalah rumpun dari Sulawesi Utara. Dilanjutkan dengan hadirnya Darmin yang juga lahir dari wilayah Sulawesi Utara lalu setelahnya Verna yang juga lahir di Manado, juga dari Sulawesi Utara.
Konstitusi menyoal hak demokrasi yang di dalamnya mengatur hak untuk memilih dan dipilih memang tidak mensyaratkan asal daerah, suku, agama dan lain sebagainya untuk dapat mencalonkan di daerah tertentu, namun berjibakunya calon pemimpin daerah dalam rutinitas masyarakat setempat adalah prasyarat calon dapat membatini psikologi sosial masyarakat yang kelak akan dipimpinnya. Terlebih lagi, jika calon pemimpin daerah justru bertempat tinggal dan menginvestasikan uangnya di daerah asal seolah menjadikan daerah dimana ia jadi pimpinan hanya sebagai ‘tempat cari uang’.
Tulisan ini tidak hendak mengorek sentimen kedaerahan atau primordialis, namun lebih pada pertanyaan-pertanyaan logis yang kadang sulit menemukan jawaban, misal, bagaimana seorang pemimpin dapat membatini gejolak sosial sampai ke hal paling fundamental jika selama ini ia beraktifitas, bahkan lahir pun dari daerah lain, lalu ujug-ujug jadi pimpinan di daerah baru? Apakah kadar tekanan morilnya sama dengan orang yang sedari awal berjibaku di daerah tersebut dalam hal upaya membangun daerah? Serta masih banyak pertanyaan lain yang tentu akan muncul jika fikiran kita tidak hanya berkutat pada hal-hal yang normatif-sepanjang tidak dilarang undang-undang.
Untuk itu, di tahun 2024, masyarakat kabupaten Poso hendaknya dapat berfikir berkali lipat, jauh meneropong masa depan, tentu dengan pengalaman-pengalaman berharga setelah melewati tekanan sosial, ekonomi dan bahkan sejarah. Apalagi, sejarah Poso sebagai kabupaten tertua dan paling terkemuka yang puncaknya di tahun 90-an mestinya jadi cambuk untuk kembali bangkit dari keterpurukan pasca konflik. Masak dikalah sama adik kandungnya sendiri yang belum lama lahir-Kabupaten Morowali?
Pilihlah calon pemimpin yang benar-benar dapat membatini kehidupan sosial masyarakat, mengerti konsep dan tekhnis pengembangan agrobisnis dan hasil laut. Karena paling tidak, kita masih berbangga diri tidak mengejar ketinggalan dengan mengeksploitasi SDA dengan libido pertambangan yang hyper seperti daerah lain.
𝙋𝙚𝙣𝙪𝙡𝙞𝙨 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙥𝙪𝙩𝙧𝙖 𝙙𝙖𝙚𝙧𝙖𝙝 𝙋𝙤𝙨𝙤 𝙙𝙖𝙣 𝙥𝙧𝙖𝙠𝙩𝙞𝙨𝙞 𝙝𝙪𝙠𝙪𝙢
Opini Anda