Nasib Para Sastrawan Di Abad Moderen
Apakah yang disebut dengan karya sastra itu? Seringkali kita terjebak dengan makna dan pengertian sastra itu sendiri. Kadang kala kita beranggapan seseorang yang telah mampu menulis sebuah karya puisi lalu dapat membacakannya dengan baik di hadapan publik atau menulisnya dalam sebuah buku, atau memiliki komunitas yg berbasis sastra, kita telah beranggapan bahwa mereka adalah seorang sastrawan. Padahal karya sastra yang sesungguhnya adalah suatu karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai sarana, lalu disajikan berdasarkan kemampuan intelektualisme penulis dengan ketekunan yang panjang dan dapat dinikmati pembacanya dng imajinatif yang lepas. (Robson,1987;Darmono,1992).
Sastra dicipta, direka, digubah, dan diungkapkan oleh pengarang, penyair, dan atau pujangga yang salah satu diantarannya untuk menyampaikan dan memberikan kenikmatan imajinatif serta menyatakan hal-hal yang berfaedah bagi kehidupan serta peningkatan kualitas manusia dan masyarakat. (Teeuw,1994:183;Darmono,1992:2).
Sastra mengungkapkan gagasan, buah pikiran, norma, adat istiadat, rekaman peristiwa dan berbagai unsur lain yang berada di dalam masyarakat serta diolah melalui daya cipta pengarang, penyair, dan atau pujangga. (Agam Pamungkas Lubah, 2023).
Pengarang sastra berkarya karena dorongan hati nurani untuk menulis, mengungkap buah pikiran atau gagasan, serta segala yang terkandung dan terlintas diangan-angannya. Bukan karena adanya titipan atau pesanan pembaca. Sesuatu yang disampaikannya harus dapat memberikan manfaat bagi kehidupan serta meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat. Bukan malah justru sebaliknya membuat manusia dan masyarakat menjadi resah dan bimbang.
Hal itu sejajar dengan pengertian istila “sastra” yang secara maknawi mengandung pengertian ‘ajaran, mendidik’. Dengan demikian sastra digunakan sebagai sarana agar pembaca/pemerhati sastra menyerap nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat yang diungkapkan melalui karya sastra itu sendiri. Dan untuk dapat memberikan kenikmatan batin, karya sastra harus berbobot, berkadar estetis, dan komunikatif. Membaca dan menikmati karya sastra berarti melakukan dialog dengan karya sastra itu. Dan dari dialog tersebut dapat dicermati mutu keindahannya dan tafsir maknanya secara keseluruhan (Darmono,1992;53-54).
Penulis Sastra Jawa pada abad ke- 17, 18, dan 19, pada umumnya berasal dari lingkungan istana dan biasanya bertempat tinggal di sekitar keraton. Mereka merupakan pegawai kerajaan yang mempunyai kedudukan dan jabatan yang layak. Mereka juga mendapat perhatian yang sangat serius oleh raja atau penguasa. Mereka masuk dalam kabinet penguasa dan diberi gelar oleh raja dng sebutan, ‘Pandito Sastra’ atau orang suci yg memiliki keilmuan yg mumpuni dalam dunia sastra. Dimana setiap ucapan, tulisan dan ramalan2nya diyakini akan terjadi. Kehidupan mereka sangat terjamin bahkan tercukupi. Sebut saja, Jaya Baya, Mpu Prapanca, Mpu Tantular, Ronggowarsito, adalah sederet nama2 besar para sastrawan kerajaan masa lalu yg karya2nya ms mendapat tempat di hati masyarakat hingga abad moderen.
Namun sungguh ironis dan menyedihkan dengan para penulis sastra yang hidup di abad sekarang, dimana karya-karya mereka tidak lagi mendapat tempat dan perhatian yang serius dari penguasa, sehingga tak jarang kehidupan mereka masih banyak yang berada di bawah garis kehidupan yang wajar. Terkadang mereka harus rela menjajakan karya-karyanya lewat teman-teman seprofesi atau komunitas-komunitas sendiri, membagikan tulisan-tulisannya melalui face book, instagram, grup2 WA dan nomor kontak rekan2nya yg ada di hapenya, bahkan ada yang rela menjajakan karya-karyanya di cafe-cafe, di ruang-ruang publik, di atas bus-bus kota serta terminal-terminal penumpang demi menyambung biaya hidupnya. Pemerintah dan penguasa lebih cenderung memilih membaca koran, melihat tulisan2 para sastrawan di hape dng pasif dan menonton televisi ketimbang harus menengok sejenak akan pesan-pesan moral yang disampaikan oleh sastrawan. Bahkan terkadang terbangun stigma bahwa sastrawan hanyalah penghayal.
Akan tetapi semua proses pencapaian para penulis sastra pada masa abad-abad sebelumya tersebut bukanlah berarti didapatkan dengan cara yang mudah pula atau gampang. Terkadang mereka memulainya dari proses paling bawah yakni ‘magang’. Mereka menulis untuk dipersembahkan kepada raja atau penguasa, disamping agar dapat dipetik manfaatnya oleh pembaca.
Pengarang yang telah mencapai kedudukan tinggi dan termasyhur karena karya-karyannya terkadang juga diberi gelar “pujangga” (Pigeaud,1967; Berg,1974; Partokusumo,1995).
Seorang pujangga dianggap memiliki kelebihan, bahkan dianggap memiliki kemampuan istimewa. Ia dianggap memiliki wahyu kepujanggaan. Mereka ahli sastra, cendekiawan, dan memiliki berbagai kemampuan lain. Pujangga merupakan orang yang menguasai ilmu lahir dan batin, bahkan ada yang mengatakan jika mereka tahu sebelum terjadi, hanya terkadang mereka bersembunyi di balik prilaku kehidupannya yg biasa-biasa saja.
Dengan demikian pujangga adalah orang yang mumpuni dalam segala ilmu.
Lantas bagaimana kabar denganmu duhay para Sastrawan abad moderen…? ***
Wallahu a’lam bishawab, Semoga manfaat
*HISTORIA Tangsel* Padepokan Roemah Boemi Pamoelang* Jumat, 07 Juli 2023
Opini Anda