SAJARAH BANTEN DAN DJAKERTA BERDASARKAN INTERPRESTASI PENULIS DAN PIHAK KERAJAAN
Oleh: Agam Pamungkas Lubah
Hoesein Djajadingrat secara mendalam telah mengupas sejarah Banten dalam karyanya: “Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten”. Dari buku ini pulalah dapat diketahui sejarah Banten ditinjau dari sudut pandang dan kepentingan kerajaan Banten. Untuk itu sari dari karyanya sangat relevan dalam penulisan ini.
Yuk kita gaskeuun…
Kita mulai kisahnya dari Kronik Banten. Kronik Banten ditulis pada tahun 1662-1663. Dua kali mengalami perbaikan yaitu pada tahun 1701-1702 dan 1732. Dari masing-masing penerbit, redaksi mempunyai kebebasan untuk memberi tafsiran maupun sisipan. Kronik ini disusun dalam bentuk tembang dan prosa yang kesemuanya merupakan perwujudan percakapan antara Sandimaya terhadap Sandisastra tentang sejarah Banten. Percakapan ini dimulai sekitar kurun waktu berdirinya kerajaan Pajajaran, penyebaran Islam sampai sejarah Banten pada masa mereka hidup. Juga diceritakan tentang Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel dan para Wali.
Dari sejarah Banten ini jelas dapat dilihat adanya perbedaan dengan sumber-sumber yang ada, bahwa yang mengislamkan Banten adalah, Hasanudin. Dalam pupuh XVIII diceritakan bahwa Sunan Gunung Jati dan putranya, Maulana Hasanudin berangkat dari Demak ke arah barat dan berhasil mengislamkan daerah Banten serta berkuasa atas tanah Banten. Setelah itu ia pergi ke Pakuan untuk mengislamkan daerah itu pula. Pemberangkatan ini terjadi pada hari ahad 1 Muharam tahun Alip dengan Sengkala: Bumi Rusak Rekeh atau Mangke Iki, Usaha ini berhasil dan Sunan Gunung Jati diminta untuk membagi kerajaan baru tersebut. Daerah yang terletak di Timur Krawang termasuk wilayah Paguwati, Sedang sebelah Barat Krawang diserahkan kepada Banten. Di dalam pupuh ini masih diceritakan pula bahwa Hasanudin mempunyai 3 orang putra:
1). Ratu Pambayun menikah dengan Ratu Bagus Angke dan ditempatkan di Angke (Jakarta).
2). Pangeran Arya diminta oleh Sultan Demak dan dipercayakan kepada bibinya yang bernama Ratu Jepara. Karena itulah dikenal dengan sebutan Pangeran Jepara.
3). Pangeran Yusuf yang tetap berada di kraton Banten.
Menurut tradisi lain yang membagi kerajaan adalah Faletehan/Fatahilah, dan Fatahilah berlaku sangat adil. Putra yang tertua (dengan permaisuri dari Demak) bernama, Hasan mendapat Cirebon. Putra yang kedua bernama Baradin mendapat Banten. Putra ketiga (dari selir) bernama Kali Jantan mendapat daerah Citarum sampai sungai Tangerang. Yang terakhir inilah yang mengambil gelar Raja Jakerta menurut tempat kedudukannya. *(Th.St.Rafle, The History of Java, vol.II, London 1817, hal.139)
Sementara itu menurut tradisi lain disebutkan bahwa di Jawa Barat hanya ada dua kerajaan besar yaitu Banten dan Cirebon. Jakerta tidak termasuk dalam kategori ini karena merupakan vasal Banten. Jakerta mula-mula diperintah oleh Tubagus Angke, kemudian digantikan putranya yang bernama Pangeran Jakerta (yang menikah dengan cucu Hasanudin). Pada masa Pangeran inilah. Jakerta direbut oleh Belanda pada tahun 1619.
Di dalam sejarah Banten diceritakan secara panjang lebar tokoh Falatehan yang dianggap sebagai orang keramat terutama setelah ia wafat. Muncul bermacam legenda atas kesaktiannya. Secara tradisi terdapat bermacam nama sesuai dengan interpretasi masing-masing seperti Faletehan, Fatahilah, Fadhila Khan, Tagaril, Sunan Gunung Jati sesuai dengan tempat pemakamannya.
Di dalam pupuh XIX diceritakan awal mula kedatangan kapal-kapal Belanda di pelabuhan Angke di bawah pimpinan Kapiten Jangkung. Pangeran Jakerta yang bernama Kawis Adimarta memberi ijin untuk mendirikan kantor dagang di pelabuhan itu. Kebaikan hati Pangeran Jakerta ini ternyata berbanding terbalik dengan keinginan kompeni yang ingin menguasai Jakerta.
Dalam pupuh XXI diceritakan awal mula terjadinya peperangan antara Pangeran Jakerta dengan kompeni. Kapiten telah menembaki istana (dalem) sehingga mengalami kerusakan. Untuk perbuatan ini kapiten minta maaf dan bersedia memberi ganti rugi 1000 real. Tapi ternyata kapiten melakukan penembakan-penembakan lagi sehingga oleh Pangeran tembakan itu dibalasnya. Timbullah perang. Istana Banten di Surosowan yang mendengar peperangan ini maka mengirimkan utusan untuk menjemput Pangeran Jakerta beserta keluarga dan pengiring-pengiringnya untuk kembali ke Banten dan meninggalkan Jakerta. Dalam kronik ini disebutkan satu persatu nama para ponggawa yang mengiringi Pangeran Jakerta menuju Banten.
Jadi di sini dapat dilihat dengan jelas bahwa baik sumber wawacan sejarah Banten, sumber Portugis, Belada masing-masing bebas menginterpretasikan kejatuhan Jakerta ke tangan Kompeni. Namun apapun permasalahannya, Jakerta berhasil direbut oleh kompeni.
Dengan direbutnya Jakerta dari tangan Pangeran Jakerta, maka kompeni leluasa menguasai Jakerta. Nama Jakerta kemudian diganti menjadi Batavia. Mereka mendirikan Benteng, meriam-meriam disiapkan dan ditempatkan dalam tiga baris melintang mata angin. Jatuhnya Jakerta ini dalam sejarah Banten dituliskan dengan, Sengkala Tanpa Warna Tata Iku.
Dalam pupuh LV selanjutnya diceritakan pengangkatan Pangeran Adipati sebagai Raja Banten dengan gelar Pageran Ratu. Sekali waktu diceritakanlah para warga ingin mengirim utusan ke Mekkah untuk mengganti nama Raja mereka. Utusan tersebut di bawah pimpinan Santri Betot. Sekembali dari Mekkah, Pangeran Ratu mendapat gelar Sultan Abdulfath Abdulfatah. Dalam berbagai kronik nama tersebut juga mengalami kerancuan menjadi Dulfathi Abulfatah atau Bufathi Abufatah. Sultan inilah yang kemudian terkenal dengan gelar, Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada masa pemerintahannya terjadi peristiwa yang secara panjang lebar diceritakan dalam pupuh LVII. Pada suatu hari ketika magrib, lurah Astrasusila diikuti oleh dua punggawa dengan diam-diam berlayar ke daerah Ujung Kahit. la mencari perahu yang datang dari Tong Jawa dan Jakerta serta perahu-perahu kelasi yang mengambil kayu. Tetapi ia tidak menjumpai apapun, sehingga pelayarannya diteruskan ke arah Timur. Tiba-tiba ia melihat selup yang sedang patroli di sepanjang pantai. Lalu diikutilah selup tadi. Setelah dekat ia bersama punggawanya naik ke kapal tersebut dan mengamuk. Orang-orang kompeni yang ada di dalam selup dibunuh, namun mereka juga terbunuh pula. Kunting kapal itu kembali kepada Sultan. Ketika hal itu diketahui oleh Batavia, gemparlah orang-orang kompeni. Dipersiapkan serdadu-serdadunya untuk berperang melawan Banten. Demikian pula keadaan di Surosowan. Sultan mulai melakukan persiapan berangkat menuju Angke Tangerang untuk meghadapi tentara kompeni. Perang besar melawan kompeni ini diceritakan dalam pupuh LIX sampai pupuh LXV. Sementara akhir dari peperangan ini diuraikan dalam pupuh LXV. Disebutkan banyak yang gugur dan luka-luka. Dari yang luka-luka tersebut dikirim ke Banten, tetapi banyak pula yang mati ditengah jalan. Rakyat Jakerta pun berada dalam ketakutan dan kesukaran. Banyak yang ingin pindah ke daerah lain dan mereka telah berada di dalam kapal. Melihat keadaan ini maka Pandiya (Raad van Indie) memutuskan untuk meminta kepada Pangeran Jambi sebagai perantara untuk merundingkan perdamaian. Atas usaha perantara inilah dicapai perdamaian. Dalam catatan tahun sengkala perdamaian itu terjadi pada, Warnaneka Amulungsungi Atata Iku…***
*(Uraian ini berdasarkan sari tulisan Husein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten)
Opini Anda