POSOLINE.COM- Rabu (25/5/2011), seketika perhatian publik, terutama warga Palu dibikin shock. Di tengah kota dengan aktivitas yang terbilang padat itu berondongan senjata menggelegar. Pos penjagaan aparat kepolisian di depan Bank BCA jalan Emi Saelan digempur sekelompok sipil bersenjata. 2 Polisi yang bertugas tewas di lokasi kejadian, sementara satu orang lainnya cedera serius.
Aksi pengejaran digelar. Beberapa jam setelah kejadian, dua pelaku diringkus ketika hendak melarikan diri keluar kota lewat jalur Palu-Palolo. Dari keduanya diketahui tersisa dua pelaku lain yang melarikan diri. Pengejaran dilakukan secara intens sejak hari itu. Menyisir setiap tempat yang berpotensi dijadikan wilayah persembunyian dari jalur Palu-Poso lewat wilayah Napu. Dua hari setelahnya, aparat Kepolisian Polda Sulteng dibantu tim Densus 88 anti teror menemukan beberapa tanda dan informasi warga terkait keberadaan orang asing bersenjata di wilayah pegunungan Tangkura, kecamatan Poso Pesisir Selatan, kabupaten Poso.
Penulis yang saat itu masih bertugas sebagai jurnalis di tvOne pun tak luput dari kerja keras keluar masuk hutan, mendokumentasikan aktivitas pengejaran hingga beberapa hari dan berpindah-pindah wilayah pegunungan. Ari Dono Sukmanto, Wakapolda saat itu pun dalam beberapa moment ikut langsung ke lapangan. “Berdoa juga biar pelakunya segera ditangkap dan kamu bisa liputan yang tidak berat,” katanya.
Seingatku, proses pengejaran pelaku penembakan di Bank BCA Palu adalah rangkaian tugas peliputan yang paling berat selama bertugas. Tekanan kantor agar tidak melewatkan sedikitpun moment pergerakan aparat dalam proses pengejaran membuat penulis harus terus melengket pada group Densus yang bertugas.
Memasuki hari ke-5 pengejaran, penulis menyempatkan diri memenuhi panggilan Danyon 714 Sintuwu Maroso yang saat itu dijabat Letkol Inf. Tri Setyo untuk sekadar minum kopi bersama. Dibekali rasa lelah proses peliputan yang monoton keluar masuk hutan, penulis mencoba menggali apa yang sebelumnya telah menjadi tanda tanya. Sebagai prajurit yang lebih dibekali ketrampilan dan alat untuk bergerak di wilayah hutan, mengapa TNI tidak dilibatkan? Tri Setyo enggan menanggapi. Prajurit dilarang beragumentasi-apalagi di depan jurnalis-selain tegak lurus pada perintah atasan. Dari raut wajahnya, penulis membaca ada keengganan untuk bicara.
Setelah beberapa hari ikut dalam proses pengejaran, ada satu hal yang cukup mengusik. Untuk menghadapi kelompok bersenjata di hutan tentu akan memakan waktu jika dimulai pagi hari menuju pegunungan berhutan, lalu kembali di sore hari. Esok harinya dilakukan lagi pola yang sama, pergi pagi pulang sore. “Coba pak kalau pergi pagi, sore bertahan dengan berbekal ransum, dilanjutkan pagi hingga sore dan menetap tanpa perlu pulang ke kampung. Pola penyisiran itu mungkin akan lebih cepat menuai hasil,” kataku di hadapan Tri Setyo.
Komandan Batalyon muda itu tetap diam. Ia masih tidak mau berkomentar jika harus memberikan penilaian atas usaha keras yang telah dilakukan kepolisian. Penulis pun sadar bahwa ada etika yang benar-benar dipegang kuat oleh Tri Setyo untuk tidak mengomentari institusi lain. Beberapa menit kami sama-sama larut dalam hening. Angin malam yang berhembus pelan mulai menggoda mata dan tubuh untuk segera diistirahatkan setelah melalui proses peliputan yang melelahkan siang hari. “Padahal ada alat deteksi malam sehingga proses penyisiran pun dapat dilakukan di malam hari. Sir, kami selalu siap jika dibutuhkan,” ujar Tri pelan namun masih tetap menahan diri untuk berkomentar panjang.
Walhasil, kedua pelaku penembakan atas nama Fauzan dan Dayat ditemukan tewas setelah kontak tembak dengan aparat di pegunungan desa Tambaro, kecamatan Lage pada Sabtu, (4/6/2011) atau sepuluh hari setelah mereka melakukan aksinya di Palu. Saat itu penulis yang ditemani Ecep S Yasa, reporter tvOne yang juga dibekali rompi anti peluru tidak berada jauh dari kontak tembak.
Tiga hari setelah berakhirnya drama pelarian kedua pelaku, penulis pun mengundurkan diri secara resmi dari tugas sebagai jurnalis tvOne. “Kedua jasad segar tanpa nyawa itu harus jadi jasad terakhir dalam masa tugasku setelah melihat banyak nyawa melayang sebelum-sebelumnya,” gumamku, tentu dengan banyak tanda tanya terkait penanganan konflik Poso yang tak mungkin-atau paling tidak ‘tak mesti’-ketemukan jawabannya di atas negara sebesar Indonesia ini.
SETENGAH HATI
Tulisan di atas adalah sebuah pengantar panjang dari apa yang hendak penulis jadikan catatan penting. Karena setelahnya, operasi Tinombala berjilid-jilid pun digalakkan dengan ribuan personil yang melibatkan TNI. Satuan Tugas (Satgas) Tinombala mengemban tugas utama memburu kelompok Santoso yang kini pucuk kepemimpinannya diambil alih Ali Kalora.
Sejak dimulai tangga 10 Januari 2016, operasi Tinombala memang mencatatkan keberhasilan memburu sebahagian anggota sipil bersenjata yang menjadi momok di kawasan pegunungan Poso Pesisir. Kematian Santoso sebagai buah dari upaya Satgas memang perlu diapresiasi, walaupun di tingkat masyarakat awam, termasuk penulis, agak sulit memahami kehadiran Satgas yang tercatat pernah sampai di angka sedikitnya 2.000 personil pun tokh belum mampu memburu belasan anggota kelompok tersebut.
Dalam beberapa kesempatan diskusi, muncul ide yang terkesan konyol namun menurut penulis cukup logis. Sama halnya dengan pengejaran terhadap dua pelaku penembakan Bank BCA di Palu, dengan ribuan personil Satgas Tinombala itu jika lakukan penyisiran serentak berjarak beberapa meter tiap personil, menetap jika malam atau bahkan lakukan pergantian personil jika lelah setelah beberapa hari tanpa kembali ke pos, apakah mungkin akan menghabiskan waktu setahun untuk menangani kelompok yang belasan orang itu? Apalagi di tahun ini tercatat memasuki tahun ke-5 tapi kelompok itu tetap eksis.
Beragam narasi mencoba melogikakan faktor alam dimana Satgas harus berhadapan dengan hutan perawan dan ekstrimnya kontur pegunungan sehingga menuai kendala untuk dilakukan penyisiran menggunakan metode di atas. Namun di sisi lain kelompok itu seolah dengan enteng mendekati dusun pinggiran hutan untuk memenggal kepala warga. Artinya keberadaan mereka diasumsikan tidak berada jauh, puluhan bahkan ratusan mil dari perkampungan sehingga narasi kontur pegunungan terjal dan hutan perawan tadi agak sulit dicerna akal.
Belum lagi banyak pertanyaan lain yang mungkin tidak hanya hinggap di kepala penulis. Di dua aksi terakhir oleh kelompok Ali Kalora yang melakukan pemenggalan terhadap dua petani, divideokan oleh mereka lalu tersebar, kok bisa? Darimana mereka dapatkan sumber dari semua instrumen untuk mengoperasikan perangkat handphone? Darimana mereka dapatkan pasokan amunisi, bagaimana bisa jumlah personilnya beberapa kali bertambah hingga ada warga negara asing ikut bergabung serta banyak tanya lain hingga pertanyaan besarnya adalah sampai kapan semuanya akan berakhir agar negara di hadapan publik tak terkesan setengah hati.
Pada akhirnya, tulisan ini harus penulis akhiri dengan kesadaran diri sebagai orang awam dunia militer sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut terkesan konyol. Tentu dengan tetap berharap esok hari tak ada lagi korban masyarakat sipil tak berdosa, kepala rumah tangga dari keluarga petani yang meregang nyawa-dipenggal kelompok Ali Kalora maupun salah tembak aparat-saat mencari nafkah untuk kebutuhan hidup keluarga terkasih.(Penulis pemerhati sosial)
Opini Anda