POSOLINE.com- Pembongkaran Hutan dan penempati lahan kosong (Okupasi) secara besar-besaran diperbatasan antara Sulteng dan Sulsel sudah sangat memprihatinkan, hal ini mengingat fungsi kawasan itu merupakan Daerah Tangkapan Air (DTA) yang sangat berguna bagi siklus air atau hidrogis kawasan Danau Poso dapat lestari.
Bahkan kondisi saat ini, dengan adanya pembongkaran hutan tersebut mengarah pada okupasi lahan dengan tujuan pemukiman dan kepemilikan lahan yang dilakukan oleh sekelompok orang secara sistimatis untuk menguasai lahan di daerah diperbatasan.
Terkait dengan Daerah Tangkapan Air tersebut, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH ) Kabupaten Poso Murniati Putosi melalui Kepala Bidang Perlindungan DLH Roy Pesudo saat ditemui Rabu, 07/8/2019 mengatakan, bahwa pratek penembangan liar atau pembongkaran hutan yang terjadi di daerah perbatasan sangat berdampak fatal ditinjau fungsi kawasan dari aspek ekologi.
Sedangkan kepemilikan penguasaan lahan di kawasan perbatasan itu, dirinya menyimpan sejumlah bukti-bukti foto copy kwitansi terjadinya praktek jual βbeli lahan tersebut.
Menurutnya, jika hal ini dibiarkan tanpa adanya upaya pencegahan akan berdampak dengan menggangu siklus hidrologi berupa penurunan debit air sungai dan danau.
Ini juga kata Roy, sangat mempengaruhi bahkan pasokan air ke irigasi pertanian akan berkurang, sumber air baku menurun, hilangnya keanekaragaman hayati, hilangnya budaya lokal yang memiliki keterikatan dengan kawasan hutan yang bisa memicu konflik sosial.
Belum kalau ditinjau dari aspek ekologi menurutnya, merupakan Daerah Tangkapan Air dalam kesatuan siklus hidrologis Danau Poso, terdapat beberapa sungai besar dan sungai kecil yang berhulu dikawasan tersebut yang bermuara di Danau Poso.
Untuk itu, pihaknya melalui DLH akan melakukan upaya prenventif dengan cara mengembalikan fungsi kawasan tersebut sebagai daerah tangkapan air.
Katanya, untuk tindakan harus koprehensif, pihaknya terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk mengeluarkan semua warga yang berada di kawasan tersebut.
Kalau perlu kata dia, mendesak Pemerintah Propinsi Sulsel, Pemkab Luwu Timur dan Pemdes Kasintuwu untuk duduk bersama mencari solusi dengan tidak mengeluarkan kebijakan yang mengarah pada kehancuran kawasan, reboisasi dan penegakan hukum yang tegas.
Bahkan selajuh ini belum terlihat adanya gerakan dari Instansi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Propinsi terkait adanya upaya penanganan, karena kawasan tersebut masuk dalam wilayah kerja dari BPDAS.Β (Simson Towengke)
Opini Anda