Sering dengar gak kalau ada yang bertanya ke kita: Apa sih budaya Tanggerang Selatan (Tangsel) itu. Bukankah Tangsel ini heterogen?
Yups, pertanyaan ini yg sering bikin sy bingung. Bukan karena ketidakmampuan sy untuk menjawabnya, tapi lebih cenderung pada bagaimana cara membuat semua orang dapat memahami tentang apa arti dari sebuah kebudayaan lokal itu sendiri. Apalagi yg mendesak jawabannya adalah mereka2 yang baru tinggal dan berdomisili di Tangsel sepuluh duapuluh tahun lamanya dan belum memahami kultur budaya Tangsel sesungguhnya.
Dan karena semakin banyaknya pertanyaan2 liar inilah yg terpaksa pemerintah harus berupaya mejawabnya dengan cara melakukan semacam seminar gitulah. Hasilnya? Monggo, silahkan warga masyarakat menampilkan aneka ragam budayanya di Tangsel dengan konsep multikultural. Karena emang Tangsel dipandang sebagai ‘melting pot dan salad bowl’ sebuah kawasan berkembang. Setuju kan begitu? Anggap aja ia.
Tapi untuk memahami apa yg melatar belakangi sebuah kebudayaan itu lahir dan berkembang ada baiknya kita baca tipis2 dulu catatan ringan sy berikut ini, barangkali kita sejalan.
Yuk kita gaskeuuun…
Aliran diffusionis memandang kebudayaan manusia bersumber dari satu tempat asal sebagai pusatnya, yang kemudian menyebar ke tempat-tempat lain melalui migrasi dari pendukung budaya tersebut. Paradigma ini memunculkan perspektif universalisme budaya, yang menyatakan bahwa setiap kebudayaan berasal dari suatu tempat, kemudian akan meluas secara bertahap di berbagai tempat. Pandangan yang monosentris ini meniadakan fenomena partikularisme budaya yang diusung oleh aliran ekologi budaya.
Teori ekologi budaya menganggap budaya yang diciptakan manusia tidak bisa dilepaskan dari proses adaptasi terhadap lingkungan. Faktor alam dan lingkungan dimana manusia hidup menjadi kata kunci bagaimana wujud budaya yang diciptakannya (Kaplan & Manners, 2002:101—118).
Konsekuensi logis cara berpikir ekologis adalah relativisme budaya, bahwa setiap kebudayaan adalah unik searah persepsi manusia dalam menyingkapi lingkungannya. Penalaran teori relativisme budaya mengarahkan pandangan kita kepada unsur internal dari pusat suatu kebudayaan. Pusat kebudayaan tidak mesti bersumber dari satu asal atau dari luar, melainkan bisa saja berasal dari dalam dan bersifat plural (Kaplan & Manners, 2002:128—130).
Ini sekaligus memberi ruang terhadap kearifan lokal yang tersebar di berbagai komunitas masyarakat sebagai respon terhadap kondisi lingkungan tempat pendukung budaya itu hidup.
Mengacu kepada paradigma budaya partikular (kelompok), dapat diterima jika akar kebudayaan Tangsel tidak mesti dicari ke luar.
Pandangan ekologi budaya sekaligus meneguhkan bahwa cikal bakal budaya lokal tersebut menjadi akar budaya yang berkembang selanjutnya. Dengan kata lain, kebudayaan sebagai akar budaya yang hidup dan berkembang dalam kebudayaan Tangsel tidak harus dicari di tempat lain yang jauh, karena ia tumbuh sebagai bagian dari adaptasi terhadap lingkungan sekitarnya.
Jika demikian adanya, pertanyaan selanjutnya adalah unsur-unsur budaya apa saja yang dapat dipandang sebagai akar kebudayaan Tangsel?
Pertama, kita harus melihat apakah Tangsel memiliki rekam jejak kebudayaan masa lalu. Yang kedua, apakah kebudayaan tersebut masih tetap dipertahankan nilai2 tradisinya hingga ke abad moderen. Dan untuk menjawab pertanyaan ini sy sedikit memberikan gambaran umum bagi pembaca untuk mengetahui bahwa Tangsel juga memiliki rekam jejak kebudayaan masa lalu. Semisal contoh, penemuan benda2 yg diduga sebagai situs oleh Tim Eksplorasi Historia Tangsel seperti batu2 nisan kuno baik yg ada di Keramat Tajug, Cilenggang, TPBU Ranca Bulan, Keranggan, TPBU Jati, Lengkong, dll, serta alat reproduksi pertanian (batu gilingan kopi) di Pondok Cabe, memberikan bukti nyata bahwa Tangsel sudah memiliki rekam jejak kebudayaan masa lalu.
Namun meski demikian, sejarah panjang peradaban manusia diwarnai oleh perkembangan budaya secara perlahan-lahan atau lebih dikenal dengan evolusi budaya. Banyaknya mukimin-mikimin baru di Tangsel memberikan akses kepada manusia untuk menata struktur serta hubungan sosial lebih intensif. Transformasi budaya cukup bermakna terjadi baik di bidang sosial, ekonomi, politik, relegi dan teknologi.
Kecendrungan ini melahirkan suatu tatanan hubungan masyarakat yang semakin kompleks. Kaburnya sekat-sekat sehingga masyarakat lebur menjadi satu.
Arus budaya global tersebut demikian cepat melanda Tangsel. Gaya hidup konsumerisme, hedonik, dan nilai-nilai budaya sekuler semakin mengemuka menerebos dan menyelinap memasuki budaya lokal yang ada. Lompatan budaya ini memunculkan karakteristik tersendiri terhadap wujud kebudayaan Tangsel yang kita lihat sekarang ini…***
Wallahu a’lam bishawab, Semoga Manfaat.
HISTORIA Tangsel, Padepokan Roemah Boemi Pamoelang
Selasa, 03 Okt’ 2023
Opini Anda