Pernah dengar istilah *Kue Bacot*? Yah, sebagian besar masyarakat Tangsel tentu belum mengenal dng istilah ini. Tapi bagi masyarakat Betawi, pasti istilah ini sangat populer di tengah masyarakatnya. Apalagi mereka yg tengah menghadapi kriyaan putra putrinya yg akan menuju ke jenjang pernikahan.
Kue Bacot adalah salah satu kue yang menjadi bagian dari proses seserahan/hantaran orang Betawi saat sepasang remaja yg telah siap menuju proses pernikahan. Baik itu calon mempelai pria maupun wanita. Demikian cerita yg berkembang di tengah masyarakat awam. Lantas pegimana mulanya istilah ini lalu kemudian muncul.
Begini kisahnya. Tarik napas dalam2 dan wusss…
Kue Bacot sebenarnya tidak ada dalam rangkaian prosesi hantaran pernikahan. Bacot sendiri dalam istilah morfologi Melayu Pinggiran atau Betawi Ora memiliki arti “Bahan Omongan”.
Alkisah istilah ini muncul berangkat dari sebuah prosesi hantaran calon mempelai pria ke calon mempelai wanita. Proses ini dilakukan pasca lamaran seorang pria kepada calon istri. Ketika pihak mempelai pria melamar, biasanya diiringi dengan berbagai bawaan makanan dan barang-barang lainnya yang kemudian diserahkan kepada pihak wanita. Istilah ini disebut dengan seserahan atau hantaran.
masing-masin
Beberapa hari kemudian, calon mempelai wanita “membalas” seserahan itu dng berbagai jenis kue tradisional yg dimasukan dalam 12 tenong diantaranya: kue Geplak, kue Cincin, kue Cina, Kue Bugis, Wajik, Serondeng, Uli, dodol, Manisan, dll.
Kue-kue di atas juga dibagikan oleh orang tua calon mempelai wanita kepada kerabat dan tetangga dng maksud sebagai undangan, sekaligus pemberitahuan bahwa “Putrinya telah dilamar dan akan melangsungkan pernikahan.
Nah di sinilah TKP itu dimulai. Meski tak layak kisah ini dituturkan karena takut akan menimbulkan stigma yg gak baik akan masyarakatnya khususnya orang Betawi itu sendiri, tapi demi untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat awam akan istilah dari Kue Bacot tersebut, maka saya akan menjelaskan asbabun istilah Kue Bacot ini lahir di tengah masyarakat Betawi.
Seperti yg sudah sy jelaskan di atas bahwa kue2 hantaran calon mempelai tadi dibagikan kepada kerabat dan tetangga sebagai penanda sekaligus undangan pernikahan.
Biasanya. Biasanya nih ya, ada harapan timbal balik dari maksud kue-kue tersebut dibagikan kepada kerabat dan tetangga. Istilahnya ada udang di balik batu. Sang penerima kue tersebut harus peka dan mengembalikannya dalam bentuk rupiah dng maksud membantu secara sukarela kepada yang punya hajat. Namun terkadang pengembalian tersebut dianggap tak sebanding dng nilai kue yg diberikan.
Hal-hal inilah yang akhirnya menjadi pergunjingan antar kerabat, hingga akhirnya nama “Kue Bacot” tersebut lahir.
Tidak hanya sampai di situ saja. Kerabat dan tetangga yg merasa dekat namun tak kebagian kue2 pun akan bergunjing akibat dari kehilafan sang pemilik hajat. Nah repotkan kalo perkaranya demikian?
Tapi tentunya peristiwa ini bukanlah bagian dari pakem mata rantai prosesi pernikahan. Atau sesuatu yg hukumnya menjadi fardhu ain alias wajib. Ia hanyalah bagian dari sebab akibat dari prosesi pernikahan yg bisa jadi ada dan tiada. Tergantung pada individunya masing-masing.
Jadi jelas yah, bahwa “Kue Bacot” yg dimaksud hanyalah sebuah istilah. Bukan nama dari jenis kue. Sebab pemirsah tidak akan temukan jenis kue tersebut dalam 12 tenong kue hantaran. Kecuali ketambahan satu tenong kue dengan motif mulut..hehehe
Wallahu a’lam bishawab, Semoga Manfaat
*HISTORIA Tangsel*
*Padepokan Roemah Boemi Pamoelang*
29 Mei 2023
Opini Anda