Kapten Naim
Laksamana Muda Dari Sulawesi Yang Setia Mendampingi Pangeran Purbaya Hingga Akhir Hayatnya
Oleh: Agam Pamungkas Lubah
Tak banyak yg mengenal sosok dari Laksamana Muda ini. Bahkan namanya tak pernah tertoreh dalam lembaran sejarah nasional maupun tutur2 masyarakat lokal Banten. Namun sy sangat beruntung krn masih diberikan jalan menguak pintu kebenaran tersebut lewat sebuah dokumen penting pemerintah Belanda yg mengisahkan tentang siapa dirinya, dan bagaimana kiprahnya semasa hidup hingga akhir hayatnya.
Adalah Capt.Naim, laksamana laut muda ini dlm sebuah dokumen VOC disebutkan merupakan salah satu pemimpin armada kapal Makasar di bawah pimpinan Karaeng Galesong ketika hendak meninggalkan Goa Talo Makasar menuju Banten, usai takluknya Kesultanan Goa Talo Makasar lewat perjanjian BONGAYA 18 November 1667.
Ia ikut bergabung dng duapuluh ribu pasukan Makasar yg datang secara bergelombang menuju Banten dng menahkodai satu unit kapal perang dari tujuh puluh armada laut menuju Banten, guna membantu Kesultanan Banten dlm menghadapi rong-rongan VOC pada bulan Oktober 1671. Turut serta di dalamnya beberapa orang laksamana lainya sprt: Karaeng Bontomaranu, Karaeng Ali Bisai, Daeng Mangapa dan Daeng Mangale.
Pada tahun 1682, terjadi konstalasi politik dalam istana kesultanan Banten. Pangeran Haji dibawah pengaruh VOC berusaha merebut tampuk kepemimpinan ayahandanya Sultan Ageng Tirtayasa. Karena kekuatan perang yg tidak berimbang memaksa Sultan Ageng Tirtayasa bersama putra mahkota Pangeran Purbaya memilih bergerilya ke hutan2 pinggiran selatan.
Akan halnya Pangeran Purbaya. Dalam perang bergerilya dirinya lebih memilih kawasan selatan Pajajaran, atau tepatnya wilayah Bogor sekarang sbg tempat strategis untuk bertahan. Dalam perjalanan inilah Pangerang Purbaya dikawal oleh salah seorang Laksamana Muda dari Makasar yg sekaligus menjadi orang kepercayaan pribadinya.
Adalah Kapten Naim. Dirinya selalu setia mendampingi kemanapun Pangeran Purbaya melakukan gerilya baik dalam suka maupun duka. Karena bentuk kesetiannya terhadap Sang Pangeran inilah maka Pangeran Purbaya memberikan gelar padanya dengan nama, *Bachti Naja Widjaja*. Atau seorang yang berbakti dan selalu memberi kemenangan.
Tak jarang Kapten Naim selalu berada digaris terdepan ketika terjadi kontak senjata dng VOC di aliran Sungai Cisadane menuju Ciampea. Rute-Rute gerilya pasukan Pangeran Purbaya dan Kapten Naim mencakup aliran Sungai Cisadane dari desa Lengkong hingga ke hulu. Tidak sampai di situ saja, Kapten Naim dan pasukannya yg terdiri dari orang2 Bugis dan Makasar diberi kepercayaan oleh Pangeran Purbaya untuk memperluas wilayah taklukannya hingga sepanjang aliran Kali Pesanggarahan dan beberapa wilayah sprt Parung, Pondok Cabe, Pamulang, Ciputat dan Jombang yg dahulunya merupakan wilayah2 vasal Batavia. Bahkan dirinya dipercaya oleh Pangeran Purbaya untuk menjaga wilayah tersebut dari serangan VOC.
Namun sayang, ketika Kapten Naim tengah berada di Pamoelang, terdengar kabar dari Gunung Gede, dimana tempat persembunyian Pangeran Purbaya, bahwa kondisi kesehatan Pangerang Purbaya semakin memburuk akibat sakit yg dideritanya selama masa bergerilya. Tak ada pilihan bagi Sang Pangeran selain menyerahkan diri kepada kompeni. Namun sebelum dirinya menyerahkan diri, Pangeran Purbaya meminta kepada Kapten Ruys yg memimpin penangkapan tersebut agar ia dijemput oleh seorang letnan pribumi. Maka diutuslah Letnan Untung Surapati dari Kartasura untuk menjemput Pangeran Purbaya di Gunung Geda.
Sebelum menjalani pembuangan oleh Belanda pada April 1716, Pangeran Purbaya memberikan surat wasiat yang isinya menghibahkan beberapa rumah dan sejumlah kerbau di Condet kepada anak-anak dan istrinya yang ditinggalkan. Sedangkan Kapten Naim sendiri diberikan hadiah tanah yg cukup luas olehnya. Meliputi wilayah Parung, Tjinere, Pondok Tjabe, Pamoelang, Pondok Banda, Bambu Apus, Tjipayung, Tjiputat dan Tjilalung.
Namun sayang, pada tahun 1758 Gubernur Jenderal Belanda Petrus Albertus van der Parra mengambil alih sebagian tanah2 tersebut tanpa adanya pertempuran. Hanya sebagian wilayah yg diserahkan kepada Kapten Naim sprt, Pamulang Ilir, Pamulang Tengah, Pondok Banda, Tjileduk, dan Bamboe Appoes, sebagaimana yg tertulis dalam surat perjanjian antara Kapten Naim dan Gubernur Jendral Petrus Albertus van der Parra di Tjipoetat on Pamoelang tahun 1792. *(“Batavia Bovenlanden” Inventaris Arsip Batavia. No.3, 1792, 251, Arsip Nasional Indonesia)
Kapten Naim kemudian menghabisi masa tuanya di sebuah kawasan yg menjadi miliknya dan hidup sebagai petani…***
Wallahu a’lam bishawab, Semoga Manfaat
HISTORIA Tangsel, Padepokan Roemah Boemi Pamoelang, Sabtu, 10 Februari 2024
Opini Anda