Hubungan Kekerabatan Banten-Makasar
𝐎𝐥𝐞𝐡 : 𝐀𝐠𝐚𝐦 𝐏𝐚𝐦𝐮𝐧𝐠𝐤𝐚𝐬 𝐋𝐮𝐛𝐚𝐡
Jika melihat dari catatan sejarah dan beberapa reverensi seperti ensklopedia Islam, catatan arsip nasional dan referensi-referensi sejarah lainnya, bahwa hubungan kekerabatan antara Banten dan Makassar sudah terjalin erat sejak abad ke 17 dimasa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Dimana saat itu Syeikh Yusuf al-Makassari diangkat sebagai Penasehat Agung Kesultanan Banten.
Dalam sejarah dikisahkan sekembalinya Syeikh Yusuf menimbah ilmu di Mekkah ke Makassar, beliau menemukan Kesultanan Gowa Talo Makassar telah takluk di bawah pemerintahan VOC Belanda melalui perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Dua tahun setelah penaklukan VOC tersebut, pada tahun 1670 Syeikh Yusuf memilih untuk kembali ke Banten menemui sahabat mudanya Pangeran Surya yang telah naik tahta sebagai Sultan Banten dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.
Dalam perjalanannya menuju Banten, Syaikh Yusuf membawa 400 orang murid terlatihnya di bawah pimpinan Muhammad Ali Karaeng Bisai untuk membantu Sultan Ageng Tirtayasa dalam peperangan melawan pemerintah VOC yang sejak 1656 sering melakukan blokade kepada kapal-kapal dagang dari Maluku dan Tiongkok yang datang ke Banten.
Empat tahun setelah tercetusnya Perjanjian Bongaya yang menandakan berakhirnya kekuasaan Gowa Talo, pada bulan Oktober 1671 Karaeng Galesong yang juga merupakan putra dari Sultan Gowa ke-16 yakni Sultan Hassanuddin, memilih untuk meninggalkan Makassar menuju Banten guna membantu Kesultanan Banten dalam rongrongan pemerintahan VOC.
Laksamana laut yang gagah perkasa ini, yang tercatat dalam beberapa literatur sejarah dan lontara Bugis-Makassar, beranggapan bahwa yang menyerah saat itu adalah rajanya, bukan rakyatnya. Sehingga beliau memilih meninggalkan Makasar menuju Banten dengan membawa 70.000 pasukan perangnya serta 70 armada kapal perang guna membantu Kesultanan Banten dalam perang melawan VOC hingga meletus perang saudara Banten 1682-1683.
Turut serta di dalamnya Karaeng Bonto Maranu, Daeng Mangale, Daeng Mangapa dan Srikandi Timur atau Garuda Betina dari Timur, I Fatimah Daeng Takontu yang merupakan adik kandung dari Karaeng Galesong itu sendiri dan konon dikabarkan menikah dengan anak dari Sultan Banten saat itu.
Dengan hadirnya kekuatan dari Makassar tersebut Kesultanan Banten menjadi satu satunya pelabuhan terbesar dan terkuat di Nusantara setelah takluknya kekuasaan Gowa Talo di Makasar. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Pangeran Turunojoyo meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa untuk mengurangi dominasi Mataram dibawah pimpinan Amangkurat 1. Maka Sultan Banten mengutus Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomaranu untuk membantu kekuatan Trunojoyo di Kediri.
Masih beragam versi dalam kisah diutusnya Karaeng Galesong membantu kekuatan Trunojoyo ini. Sebagian ahli sejarah ada yg berendapat yang berangkat membantu kekuatan Turunojoyo di Kediri adalah Karang Bontomaranu, sementara Karaeng Galesong, Daeng Mangapa, Daeng Mangale, I Fatimah Daeng Takontu, Karaeng Ali Bisai, bersama Syeikh Yusuf memilih bertahan di Banten hingga tercetusnya perang saudara Banten antara Sultan Ageng Tirtayasa dan putranya Sultan Haji yang di backup penuh oleh VOC 1682-1683.
Dalam pertempuran yang berlangsung sengit tersebut pasukan Banten di bawah pimpinan Syaikh Yusuf al Makasari terpukul mundur hingga ke daerah Pajajaran atau tepatnya di wilayah Bogor, Jasinga dan Tenjo sekarang. Sebagian ada yang bertahan hingga akhir hayatnya di sana, sebagian ada yang ke Thailand, sebagian lagi ada yang meneruskan perang gerilya bersama Syaikh Yusuf al Makasari menuju Priyangan Timur menyusuri Sungai Ciseel dan Sungai Citanduy, lalu berputar melewati Pangandaran dan tiba di Tasikmalaya dan berlindung di sebuah tempat yang bernama Karang atau Aji Karang. Sebagaimana yang dituturkan Abdul Hamid dalam Bukunya: Syekh Yusuf, Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang (1994).
Sementara menurut Prof.Dr. Azyumardi Azra (1994), dalam peperangan melawan Belanda, Syekh Yusuf Makassar mundur ke Desa Karang, dan menjalin hubungan dengan seseorang yang oleh sumber-sumber Belanda disebut “Hadjee Karang’. Karang adalah tempat tinggal Syekh Abdul Muhyi, murid Al-Sinkili dan dialah Si “Hadjee Karang” itu. Al Sinkili adalah nama lain dari Syekh Abdul Rauf Singkel dari Pasai.
Abdul Muhyi memanfaatkan kesempatan bertemu dengan Syekh Yusuf al-Makassari untuk belajar dengannya, menanyakan penafsiran atas ayat-ayat tertentu dari Al-Qur’an yang berkenaan dengan doktrin-doktrin mistis. Abdul Muhyi, kata Azra lagi, juga meminta Yusuf Makassar memberikan padanya silsilah tarekat-tarekat yang diterimanya di Haramain.
Perbincangan ulama ini terekam dalam koleksi karya-karya Yusuf Makassar di Perpustakaan Nasional Jakarta, antara lain pada Naskah Arab No. 101,64.
Dalam salah satu naskah yang ditulisnya di kemudian hari, yang berjudul “Syuruti al-’Arifi al-Muhaqqiq”, ulama yang produktif menulis itu menyebutkan “Untuk sahabatku di Kampung Rantaubetaa, lalu Kampung Baeubul di Negeri Mandala, sahabatku yang bernama Abdul Jalil penduduk asli kampung tersebut dan sahabatku Haji Abdul Muhyi yang tinggal di Kampung Karang”.
Perjuangan sang Sufi dari Negeri Makasar ini terhenti setelah terbesit kabar jika sahabatnya Pangeran Surya atau Sultan Ageng Tirtayasa telah menyerahkan dirinya kepada putranya Sultan Haji lalu di asingkan ke Batavia. Hal tersebut membuat hati sang sufi terguncang. Demi melihat kondisi demikian Belanda dengan segala tipu muslihatnya berhasil memancing keluar Syaikh Yusuf dari Pamijahan lalu menyerahkan dirinya ke VOC pada bulan September 1684 dan diasingkan ke Srilangka dan Cape Town, Afrika Selatan.
Sementara pasukan Bugis dan Makasar lainnya yang masih memilih bertahan di daerah Pajajaran memilih tinggal menetap di wilayah tersebut hidup sebagai petani, pedagang dan pengusaha hingga akhir hayatnya.
Jejak-jejak keberadaan pasukan Makasar di wilayah tersebut dapat terekam melalui banyaknya batu2 nisan dengan tipology Sulawesi yang berbentuk silindrik menyerupai gadah yang bersebaran di daerah Jasinga dan Tenjo Kab.Bogor…***
Wallahu a’lam Bishawab, Semoga Manfaat
HISTORIA Tangsel, P,adepokan Roemah Boemi Pamoelang. Rabu, 27 September 2023
Opini Anda