Gerbang Udara di Tepi Danau: Kisah Bangkitnya Bandara Kasiguncu Poso
Oleh: Simson Towengke
Di antara rimbunnya perbukitan Sulawesi Tengah dan hanya sepelemparan batu dari air tenang Danau Poso yang legendaris, berdiri Bandara Kasiguncu (PSJ). Lebih dari sekadar fasilitas transportasi, bandara ini adalah cermin dari semangat ketahanan dan harapan baru bagi Kabupaten Poso. Ia bukan bandara megah Ibu Kota, melainkan sebuah gerbang udara yang menyimpan kisah panjang pasang surut, dari keriuhan awal, kevakuman konflik, hingga kebangkitan modern.
Pesawat Jet di Tengah Sejarah
Bagi sebagian besar bandara di kota-kota kecil Indonesia, kehadiran pesawat jet berbadan besar adalah pencapaian monumental. Momen itu tiba di Kasiguncu.
Pendaratan perdana Boeing 737-500 komersial pada tahun 2025, yang diterbangkan oleh Sriwijaya Air, bukan hanya sekadar pembukaan rute baru. Itu adalah penanda bahwa landasan pacu yang dulunya hanya cocok untuk pesawat baling-baling seperti ATR 72 (yang secara rutin dibawa oleh Wings Air) kini telah dipanjangkan dan diperkuat. Peningkatan kapasitas ini tidak hanya mempersingkat waktu tempuh menuju Poso, tetapi juga membuka keran potensi ekonomi dan pariwisata yang lebih besar.
βKehadiran 737 ini membuktikan Poso siap menyambut investasi dan turis. Kami tidak lagi hanya mengandalkan penerbangan perintis kecil, namun sudah setara dengan kota-kota besar lain,β ujar seorang tokoh masyarakat setempat.
Sebelumnya, langit Kasiguncu didominasi oleh pesawat-pesawat kecil yang akrab melayani rute perintis. Sebut saja Susi Air dengan Cessna Grand Caravan-nya, yang membawa logistik dan menghubungkan Poso dengan daerah terpencil, atau Merpati di masa lampau. Namun, kini, deru mesin jet menjadi simfoni baru yang mengumumkan konektivitas yang lebih luas.
Kisah di Balik Kevakuman Panjang
Sejarah Kasiguncu tidaklah mulus. Diresmikan pada tahun 1974, bandara ini sempat menjadi lifeline bagi Poso. Namun, seiring membaiknya infrastruktur darat dan, yang lebih parah, meletusnya konflik Poso, bandara ini memasuki masa kelam.
Pada tahun 1995, layanan penerbangan reguler berhenti total. Bandara ini praktis vakum selama satu dekade. Landasan pacu yang sepi menjadi simbol stagnasi. Baru pada tanggal 13 Juli 2005, Bandara Kasiguncu kembali dihidupkan. Kebangkitannya seiring dengan dimulainya era perdamaian dan pembangunan kembali.
Periode tersebut mengajarkan tentang pentingnya infrastruktur udara. Tanpa konektivitas, sebuah daerah akan terisolasi, baik secara ekonomi maupun sosial. Kebangkitan Bandara Kasiguncu adalah metafora dari kebangkitan Poso itu sendiri: bangkit dari keterpurukan, merajut kembali masa depan, dan menyambut dunia luar.
Menuju Masa Depan yang Lebih Cerah
Saat ini, dengan landasan pacu sepanjang 1.850 meter, Bandara Kasiguncu Poso berfungsi sebagai gerbang utama menuju potensi alam seperti Danau Poso yang memukau, serta menjadi pusat logistik untuk daerah sekitar.
Para penumpang yang mendarat di sini bukan hanya disambut oleh terminal yang rapi, tetapi juga oleh udara segar khas dataran tinggi dan janji petualangan di bumi Tadulako.
Kehadiran maskapai besar dan peningkatan fasilitas bandara adalah undangan terbuka. Undangan bagi para investor untuk melihat potensi Poso yang kini damai, undangan bagi wisatawan untuk menjelajahi kekayaan budaya dan alamnya, serta undangan bagi putra-putri daerah yang merantau untuk kembali pulang dengan akses yang lebih mudah dan cepat.
Bandara Kasiguncu Poso adalah mercusuar di tepi danau, terus beroperasi, terus berkembang, memastikan Poso selalu terhubung dengan langit Indonesia.**

Opini Anda