Oleh : Natsir Said
“Saya tak bisa bernafas,” keluh George Floyd (42). Warga Millieanapolis itu meregang nyawa beberapa detik setelah ia mengeluhkan kondisinya yang tercekik kaki Derek Chauvin, oknum Polisi.
Foto dan video peristiwa itu dengan cepat menyebar lalu memunculkan gelombang aksi massa lebih berjilid-jilid daripada 212 di Indonesia. Sebahagian dari kita tentu ikut geram, betapa rasisnya negara yang selama ini seolah jadi panglima hak asasi manusia di atas permukaan planet bumi.
Mengutip katadata.co, Kejadian serupa menimpa Floyd memang bukan sekali di AS. Melansir News One, media alternatif kulit hitam di AS, pada 6 Mei atau 19 hari sebelum kejadian Floyd, polisi di Indianapolis menembak warga kulit hitam bernama Sean Reed yang sedang tak bersenjata tanpa alasan jelas. Detik-detik kejadian ini bahkan tersiar secara langsung di Facebook dan polisi pelaku bercanda Reed akan membutuhkan pemakaman dengan peti mati tertutup.
Itu di negara nun jauh di seberang Barat sana. Di sini, di bumi yang tak jauh dari tempat kita berpijak, Selasa (2/6) pembunuhan pun terjadi pada 2 petani yang sedang memetik kopi di kebunnya dusun Gayatri, desa Kawende, kecamatan Poso Pesisir Utara. Dari keterangan keluarga korban-seperti diberitakan harian Media Alkhairaat, Rabu (3/6)-pelaku penembakan diduga dilakukan beberapa aparat yang sedang melakukan tugas Operasi Tinombala.
Kejadian serupa juga terjadi lebih sebulan sebelumnya. Kamis (9/4), Qidam Alfarizki Mofance (20) warga Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara pun terpaksa meregang nyawa karena berondongan senjata aparat kepolisian yang bertugas di Polsek Poso Pesisir Utara. Qidam yang tercatat sebagai karyawan SPBU Tambarana itu disangka bagian dari kelompok Ali Kalora yang diburu Satgas Tinombala.
Dari dua peristiwa di Poso, jika terbukti dilakukan aparat Kepolisian Polsek Poso Pesisir Utara maupun Satgas Tinombala, maka negara harus kembali memikirkan prosedur penindakan terhadap dugaan-dugaan atas objek manusia yang disangka bagian dari kelompok teroris. Sebab tindakan yang pada akhirnya keliru dan terlanjur menghilangkan nyawa sama sekali tak dapat mengembalikan situasi dengan cara apapaun-apalagi sekadar pengakuan khilaf-oleh aparat keamanan.
Penembakan membabi-buta yang dilakukan tanpa identifikasi valid terlebih dahulu lebih cenderung karena phobia akut, ketakutan berlebihan yang tidak boleh dimiliki aparat keamanan. Sikap itu sangat berbahaya karena jika dibiarkan justru akan menjadi teror baru bagi sipil yang hendak berkebun mencari nafkah. Akan ada kekhawatiran keselamatan nyawa karena terancam di dua pihak-dari OTK kelompok Ali Kalora maupun dari pihak aparat sendiri karena disangka jadi bagian dari kelompok Ali Kalora. Lalu dimana fungsi aparat keamanan yang mesti mengusung misi memberikan rasa aman?
Sayangnya, dua peristiwa yang menewaskan warga sipil di Poso itu tak terekam kamera. Jika terdokumentasi dalam bentuk video, maka bisa dibayangkan betapa tragisnya ketiga korban dari dua peristiwa itu mengakhiri hidup, mungkin lebih tragis dari kematian George Floyd oleh aparat yang memicu aksi berjilid-jilid di Amerika.
Karena tak terdokumentasi pula, naluri kemanusiaan kita tidak begitu terbakar amarah. Padahal secara substansi, apa yang dialami Floyd tak ada bedanya dengan yang terjadi di Poso-minus isu rasis-bahwa ada nyawa manusia tak bersalah yang dipaksa dicabut dengan cara-cara kriminil.
Jika Derek Chauvin langsung didakwa pembunuhan tingkat II karena terbukti melakukan pembunuhan tanpa perencanaan, lalu menghadapi vonis pemecatan dari dinasnya di Kepolisian, maka apa yang terjadi di Poso juga mesti dapat memberikan efek jera terhadap pelaku yang hingga kini masih dalam proses penyelidikan. Apalagi, dua peristiwa beruntun yang memakan korban nyawa masyarakat sipil itu diduga dilakukan oleh aparat negara yang diberikan mandat untuk menjaga dan menciptakan rasa aman bagi masyarakat.
(Penulis adalah pemerhati sosial, warga Poso)
Opini Anda